BOJONEGORO, THINKWAY – Penerimaan negara yang disumbang melalui cukai hasil tembakau (CHT) porsinya signifikan, sekitar 10%-11% APBN. Harus diakui, Industri Hasil Tembakau (IHT) tidak hanya mengisi pundi-pundi penerimaan pajak di tingkat nasional, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi dan menyerap tenaga kerja di daerah, utamanya di sektor padat karya sigaret kretek tangan (SKT). Oleh karena itu menjaga keberlangsungan IHT, sama dengan melindungi dan tetap memberdayakan pekerja SKT.
IHT juga menjadi salah satu kunci penggerak ekonomi di Jawa Timur (Jatim). Setiap tahun, provinsi itu juga menjadi penerima dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) terbesar. Seperti diutarakan oleh Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jatim, Iwan menegaskan bahwa IHT merupakan sektor yang memberikan pengaruh signifikan bagi perekonomian Jatim. Terdapat sub-sektor industri pengolahan ini memberikan kontribusi terbesar kedua pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Industri Pengolahan Jatim.
Industri SKT berperan besar dalam penyerapan tenaga kerja karena merupakan industri padat karya dan memiliki keterkaitan sektor hulu hingga ke hilir yang sangat erat dalam penyerapan produksi tembakau lokal dengan melibatkan lebih dari 300.000 petani tembakau dan cengkih. “Dominasi industri hasil tembakau di Jawa Timur secara otomatis menjadikan Provinsi Jawa Timur sebagai penyumbang cukai terbesar di Indonesia, berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerja pada sektor tersebut,” kata Iwan.
Dengan kontribusi yang besar ini, Iwan mengatakan penentuan kebijakan terkait IHT tidaklah sederhana, apalagi mempertimbangkan dampaknya bagi kemampuan industri dalam menyerap tenaga kerja cukup besar, khususnya di Jatim.
Kesejahteraan Petani Tembakau
Meliat IHT nasional juga berdampak dalam peningkatan permintaan komoditas tembakau sebagai bahan baku sehingga dapat memberikan keuntungan besar bagi petani tembakau. Menurut Iwan, IHT memberikan multiplier effect, khususnya dalam sektor sosial atau penyedia lapangan kerja dikarenakan sektor tersebut dikategorikan sebagai labor intensive baik dalam guna mendukung aktivitas on-farm hingga off-farm.
“Namun di sisi lain, konsumsi rokok memiliki risiko bagi kesehatan. Oleh karena itu, dibutuhkan keselarasan dalam upaya edukasi bagi konsumen rokok serta upaya perlindungan bagi pelaku tata niaga pertembakauan di Jawa Timur mulai dari hulu sampai hilir,” tuturnya.
Berdasarkan data triwulan I-2024, perekonomian Jatim mengalami pertumbuhan sebesar 4,81 persen (year-on-year) dengan nilai PDRB Rp764,33 triliun, di mana sektor industri pengolahan menjadi penopang utama struktur ekonomi Jatim dengan kontribusi sebesar 31,54 persen terhadap PDRB Jatim. Iwan menjelaskan sub-sektor IHT berkontribusi sebesar 22,78 persen, menjadikannya sub-sektor dengan kontribusi nilai ekonomi terbesar setelah industri makanan dan minuman.
Jatim sendiri merupakan provinsi penghasil tembakau terbesar di Indonesia dengan sumbangsih sebesar 43,9 persen dari total produksi nasional. Pada 2023, tercatat terdapat 1.041 unit IHT di Jatim, di mana 91,64 persen dari unit usaha tersebut memproduksi SKT dalam skala besar dan menengah dengan nilai produksi kurang lebih 195 miliar batang pada 2023.