THINKWAY.ID – Kabupaten Bojonegoro memiliki sejarah panjang sehubungan dengan tembakau, bahkan lambang kabupaten dahulu menggambarkan tanaman semusim tersebut. Lalu, bagaimana perkembangan tembakau di Bojonegoro?
Tembakau mulai diperkenalkan oleh VOC ke Hindia Belanda pada 1830 dengan memperoleh beih seberat 100 gram dari Manila. Pada tahun 1909, tembakau mulai ditanam dan menjadi komoditas perdagangan utama di Pulau Jawa, terutama jenis tembakau yang diekspor ke Eropa.
Pada tahun 1920, PT British American Tobacco (BAT) Indonesia dan PT Faroka SA didirikan mengingat hasil produksi tembakau yang cukup baik. Awalnya, bahan baku diimpor dari Amerika Serikat, namun sejak tahun 1925, PT BAT Indonesia mulai mengolah tembakau Virginia yang ditanam di Besuki. Namun, karena kualitasnya kurang memuaskan, tembakau dari Bojonegoro mulai diimpor, yang ternyata lebih cocok.
Sejak itu, pada tahun 1928, penanaman tembakau di Bojonegoro diperluas secara signifikan. Hingga tahun 1930, luas areanya mencapai 200 hektar, meningkat menjadi 5.000 hektar sepuluh tahun kemudian.
Untuk mendukung pengembangan tembakau Virginia, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Balai Penelitian Tembakau di Sumberrejo pada tahun 1939. Balai ini bertujuan memberikan informasi kepada petani tentang teknik bercocok tanam dan peningkatan produktivitas tanaman tembakau. Sejak saat itu, penanaman tembakau terus berkembang di Bojonegoro hingga kini.
Pola kemitraan antara pabrik dan petani pernah diterapkan. Menurut sebuah studi berjudul ‘Identifikasi Faktor Penyebab Lambannya Alih Teknologi Pada Usaha Tani Tembakau Virginia di Kabupaten Bojonegoro’ yang dilakukan oleh Mukani dari Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat yang dipublikasikan pada Desember 2006, produktivitasnya meningkat sebesar 43% dari periode 1970–1979 ke periode 1980–1989. Salah satu faktor penyebabnya adalah perubahan pola tanam dari tumpangsari menjadi monokultur.
Penerapan teknologi sesuai dengan program Intensifikasi Tembakau Virginia (ITV) mampu meningkatkan produksi menjadi 2.529 kg/hektar. Mukani menyatakan bahwa alih teknologi terhambat karena teknologi yang ada tidak dapat mengatasi risiko kegagalan yang disebabkan oleh kelebihan air atau kekeringan. Sebagian besar lahan tembakau Virginia di Bojonegoro adalah sawah tadah hujan.
Dulu, petani mengandalkan “ulan songo” (bulan September) untuk menjual hasil panen tembakau. Namun, sekarang istilah tersebut sudah jarang terdengar. Hal ini tidak hanya karena panen tembakau tidak seperti dulu, tetapi juga karena sumber pendapatan petani tidak hanya dari tembakau. Banyak keluarga petani yang memiliki sumber pendapatan lain, seperti anak yang merantau ke kota atau luar negeri, atau memiliki usaha di luar pertanian.
Meskipun demikian, petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro masih cukup banyak hingga saat ini. Menanam tembakau lebih disukai oleh sebagian petani karena pendapatannya lebih besar meskipun memerlukan usaha yang lebih besar daripada menanam padi dengan irigasi.