Thinkway Logo
Layar Perak yang Kembali Bersemi (Sumber Pixabay)

Layar Perak yang Kembali Bersemi

THINKWAY.ID – Tahun 2022 boleh dianggap sebagai titik kembalinya roda ekonomi sinema berputar lancar. Paling tidak itu tercermin dari perolehan beberapa film Indonesia yang melampaui sejuta penonton lebih, kembali hadir. Barangkali selama dua tahun ke belakang di masa pandemi, kita jarang melihat konten promosi di media sosial mencantumkan “xxx orang sudah ikut tertawa di bioskop,” “xxx orang sudah ikut petualangan di bioskop,” “xxx orang sudah ikut menangis..” dan lain-lainnya.

Tapi paling tidak tahun ini kita bisa kembali melihat konten promosi sejenis itu lagi. Bisnis eksibisi di masa pandemi memang sangat sekarat. Akibat kebijakan pembatasan sosial yang diberlakukan pemerintah demi menekan laju penularan virus. Performa perolehan penonton film-film pun ikut anjlok. Maju-mundur tanggal tayang adalah hal lumrah dua tahun kemarin.

Padahal, mengutip catatan filmindonesia.or.id dalam laporan Perkembangan Film Indonesia 2019: Bukan sekadar jumlah penonton, dalam periode setahun film beredar dengan 129 film, ada 51,9 juta penonton. Mengalami peningkatan dari jumlah 2018 (51,1 juta penonton dari 128 film beredar) dan dari data 2017 (42,2 juta penonton dari 112 film beredar). Setahun sebelum pandemi global itu, film kita sedang mekar-mekarnya.

Tentu pondasi yang sedang dibangun itu lalu ambruk dua tahun belakang. Memang, krisis dalam sinema kita bukan kali pertama itu saja terjadi. Mengutip catatan akademisi, kritikus, dan peneliti film Ekky Imanjaya, Ph.D. pernah ada dua periode krisis yang sempat menimpa sinema Indonesia.

Pertama adalah pada era 50-an akhir hingga 60-an yang saat itu lebih disebabkan situasi politik. Krisis periode kedua terjadi pada era 90-an, ketika televisi mulai banyak muncul dan film yang diproduksi lebih banyak mengeksploitasi erotisme lantaran demi lakunya film, bersandar pada bujet murah, yang juga menyebabkan estetika yang juga rendah. Krisis periode ketiga, tentu saja akibat pandemi.

Dari setidaknya dalam setahun ada empat hingga lima film yang berjumlah sejuta penonton lebih, dalam dua tahun belakang, tidak lebih dari tiga film. 2020, ada tiga film yang berhasil meraup sejuta penonton lebih: Milea: Suara dari Dilan (3,1 juta penonton), NKCTHI (2,2 juta penonton), dan Akhir Kisah Cinta Si Doel (1,1 juta penonton). Ketiga film itu mungkin mujur lantaran punya tanggal edar di bioskop pada awal 2020. Atau saat kebijakan kuncitara (lockdown) diberlakukan.

Sementara pada 2021, cuma ada satu judul film yang bisa tembus sejuta penonton, Makmum 2 (1,7 juta penonton). Film ini beredar di bioskop pada akhir tahun. Ketika pelonggaran mulai diberlakukan. Dari total 15 film dengan jumlah penonton tertinggi pada 2021 bahkan tidak ada yang mencapai 500 ribu penonton selain Makmum 2.

Produser yang filmnya tayang di periode dua tahun belakang itu mungkin megap-megap. Kru filmnya, apa lagi. Jaringan bioskopnya merintih. Makin menyedihkan bagi pekerjanya yang harus menghadapi pengurangan karyawan.

Namun, tahun ini semacam ada yang kembali mekar dari layar. Ketika pemerintah membuka kelonggaran dan kapasitas studio bioskop pun perlahan kembali normal menjadi 100% kursi penonton, produser-produser film mungkin senyum-senyum lagi. Aktor-aktornya pun mungkin senang karena ada kredit-kredit tambahan ketika film mereka laku di pasar. Entah kalau kru-krunya apakah sama.

Tradisi Sejuta Penonton

Ku Kira Kau Rumah, film debutan sutradara Umay Shahab dan diproduseri Prilly Latuconsina yang beredar pada awal Februari, menjadi pembuka film Indonesia yang membalikkan tradisi sejuta penonton lebih seperti pada masa sebelum pandemi. Film itu berhasil mengangkut 2,2 juta tiket penonton. Hingga pertengahan tahun ini, setidaknya sudah ada lima film yang mendapat sejuta penonton lebih.

Tiga film adalah genre horor yang merupakan film lebaran: Kuntilanak 3 (1,3 juta penonton), The Doll 3 (1,7 juta penonton), dan KKN di Desa Penari (9,2 juta penonton). Judul terakhir sekaligus menjadi judul film Indonesia terlaris sepanjang masa. Film ini bahkan mampu bersaing dengan film dari jagat pahlawan super Marvel yang tayang bersamaan kala itu, Dr. Strange in the Multiverse of Madness. Satu film lagi adalah drama komedi Ngeri-Ngeri Sedap yang berhasil mengantongi 2,8 juta penonton.

Melihat situasi tersebut tentu membuat senang akhirnya industri sinema kita bisa kembali bernapas lega. Produser bisa memanggil para krunya untuk kembali kerja. Pemilik bisnis eksibisi tidak perlu lagi ketar-ketir harus banting setir jadi jualan brondong via daring. Kini penonton sudah kembali dan melariskan konter-konter brondong di bioskop mereka.

Namun, terlepas dari telah kembalinya berjalan bisnis di industri sinema kita, tentu ada hal-hal yang masih menjadi catatan. Jika di masa pandemi kemarin para pelakunya jungkir balik untuk tetap bisa bertahan, kini juga saatnya merealisasikan hal-hal yang telah direfleksikan.

Ambruknya bisnis eksibisi kemarin salah satu di antaranya juga lantaran jaringan bioskop yang terkonsentrasi di kota-kota besar. Pulau Jawa, utamanya Jabodetabek masih jadi episentrum layar-layar terkembang (69% layar di Pulau Jawa, Jakarta mencakup 18%-19%). Perlu adanya perluasan layar sehingga akses film juga menjadi lebih inklusif bagi publik.

Penonton film juga tidak cuma terpusat di region tertentu. Sehingga ketika ada pagebluk seperti dua tahun belakang yang melumpuhkan mobilitas, masih ada kantong lain yang bisa menjadi sumber pemasukan. Template studio bioskop yang ada di pusat perbelanjaan juga jangan dijadikan sebagai satu-satunya opsi. Tapi, para pemilik bisnisnya bisa memikirkan secara jangka panjang skema studio bioskop yang lebih variatif. Sehingga itu juga berimpak pada perkembangan budaya dan keragaman konten film yang ditayangkan.

Ditambah, tampaknya agak sia-sia juga jika kita merayakan juta-juta penonton tapi para kru filmnya sendiri terabaikan kesejahteraannya. Termasuk pola kerja mereka yang selama ini jadi sorotan.

Indonesian Cinematographers Society (ICS) menerbitkan kertas posisi Sepakat di 14, yang mengadvokasi pembatasan jam kerja dan perlindungan hak pekerja film Indonesia. Ini tentu harus jadi salah satu agenda utama yang terus didengungkan agar bukan sekadar kampanye tapi benar-benar direalisasikan di lokasi produksi. Jika sutradara Makbul Mubarak pernah berujar sinema kita dibuat oleh orang-orang yang kurang tidur, ketika situasi kini sudah kembali berjalan pulih, pola kerja film juga harus dipulihkan. Bukan justru kembali seperti di masa sebelum pandemi. Sebab tidak ada yang lebih berharga dibanding kesehatan para pekerja filmnya, meski film itu laris hingga sekian juta penonton.

Related Articles