Thinkway Logo

Fenomena Tingwe: Dari Tren Menjadi Gerakan ‘Rebel’ Anak Muda Melawan Kebijakan Cukai

THINKWAY.ID – Apakah anda seorang perokok? Jika jawabannya iya, maka anda sangat merasakan dampak dari kenaikan cukai rokok dari tahun ke tahun. Cukai memang menjadi ladang pemasukan pemerintah. Setiap tahunnya, gelombang triliunan rupiah mengalir ke kas negara. Tetapi, pernahkah anda berpikir dampak cukai bagi perokok?

Mungkin anda atau saya adalah yang merasakan imbas kenaikan cukai ini. Di saat pandemi yang membuat ekonomi (pribadi?) negara carut-marut, cukai memang menjadi primadona untuk mengatasi perekonomian yang sedang lesu. Bagi perokok, tentu kenaikan cukai ini salah satu alasan kuat untuk beralih ‘merk’ ke rokok yang lebih terjangkau agar kebutuhan nikotin harian dapat terpenuhi. Atau bagi yang kurang beruntung, ‘terpaksa’ beralih rokok pabrikan ke rokok ‘tingwe’.

Secara historis rokok tingwe sudah eksis sebelum industri rokok menjamur. Corak pembuatan yang lebih tradisional menjadi alasan perokok-perokok generasi sebelumnya. Maka terang saja bahwa orang-orang terdahulu sangat gandrung dan familiar kepada rokok tingwe, yang salah satu contohnya ialah rokok klobot.

Kenaikan rokok pabrikan yang bercukai membuat dompet para perokok semakin berat. Harga cukai yang melambung di tambah dengan kondisi pandemi yang tak menyediakan kepastian membuat sebagian kalangan muda beralih kepada rokok tingwe. Dikutip dari arahkata.com, pendapatan pedagang tembakau racikan meningkat seiring dengan naiknya harga rokok.

“Saya buka toko jam 10 pagi sampai jam 10 malam, pendapatan lumayan lah rata-rata sekitar Rp500 ribu. Itu cuma yang dari toko, belum yang dari online dijual di Instagram. Sebelum harga rokok naik itu paling cuma Rp200 ribu omzet saya.” Kata salah seorang pedagang tembakau di daerah Bukit Duri, Jakarta.

Selain rokok tingwe, rokok vape atau rokok elektrik juga menjamur peminatnya. Tetapi pangsa pasar rokok elektrik didominasi oleh kalangan pemuda ekonomi menengah ke atas. Efisiensi dan penghematan menjadi alasan utamanya. Meski dibanderol dengan harga mahal, rokok elektrik masih unggul dalam aspek penghematan bagi perokok.

Bayangkan saja, sebungkus rokok rata-rata dibanderol dengan harga 20-25 ribu per bungkusnya. Konsumsi perokok aktif biasanya menghabiskan satu bungkus rokok per harinya. Jika dihitung pengeluaran selama satu bulan untuk rokok saja, berpotensi menghabiskan antara 600-750 ribu. Sedangkan uang 600 ribu sudah mencukupi sebagai modal awal untuk membeli sebuah rokok elektrik.

Secara kontras, pengeluaran untuk rokok tingwe tidak sebesar harga membeli rokok elektrik alih-alih rokok pabrikan. Rata-rata seorang perokok hanya menghabiskan 20-25 gram tembakau setiap harinya. Sedangkan harga tembakau eceran hanya dibanderol sebesar 20-30 ribu per ons. Jadi, tembakau satu ons dapat memenuhi kebutuhan nikotin harian selama 4-5 hari. Dalam satu bulan, seorang perokok hanya cukup membelanjakan 120-180 ribu untuk kebutuhan tembakaunya.

Di samping kebutuhan membeli tembakau, rokok tingwe juga memerlukan kertas rokok. Harga seutas kertas rokok berisi 50 lembar hanya dibanderol seribu rupiah saja. Satu ons rokok menghabiskan antara 2-3 bungkus kertas rokok. Jadi jika ditotal, kebutuhan rokok bulanan membutuhkan kertas sekitar 12-18 ribu rupiah.

Angka kebutuhan dana dari rokok tingwe unggul jauh jika dibandingkan dengan rokok elektrik atau rokok pabrikan. Sehingga eksistensi tembakau eceran menjadi magnet baru yang menarik banyak peminat, utamanya dari kalangan pemuda.

Selain alasan ekonomis, ada banyak ragam sebab mengapa seseorang berpindah dari rokok pabrikan kepada tingwe. Salah satu alasannya ialah proses. Dalam rokok pabrikan, perokok hanya menikmati aroma asap rokok yang dihasilkan oleh tangan buruh-buruh pabrik. Sedangkan dalam rokok tingwe, seorang perokok itulah yang memproduksi dari tembakau menjadi rokok yang siap dihisap.

Kehadiran rokok tingwe di era sekarang yang mulai kembali menjadi trend tidak bisa dilihat sebagai pelarian semata. Tetapi kehadiran negara yang bersikap eksploitatif sejak hulu sampai muara di bidang industri rokok melahirkan corak perlawanan dari perokok itu sendiri. Setidaknya, ini menjadi jawaban bahwa kaum yang kritis terhadap kenaikan harga cukai rokok sedang tidak membela pabrik rokok. Tetapi mereka beralih ke tradisi lama untuk melanggengkan budaya dan menyambung rantai distribusi kesejahteraan, yang muaranya terletak kepada petani tembakau.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.