THINKWAY.ID – Ridwan Saidi, sosok yang dikenal sebagai budayawan kawakan Betawi, aktivis, dan sejarawan, meninggal dunia pada Minggu (25/12) dalam usia 80 tahun. Ia dikenal sebagai sosok yang vokal, terutama yang terkait dengan pelestarian kebudayaan Betawi.
Pria kelahiran Jakarta, 2 Juli 1942 ini lulus dari Fakultas Hukum dan Ilmu Kemasyarakatan atau Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) pada 1976. Latar belakang dan sepak terjangnya membuatnya juga dikenal sebagai penulis buku spesialis sejarah Jakarta khususnya Betawi.
Babe, panggilan akrab Ridwan Saidi, juga sempet berkecimpung di dunia politik sebagai anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dari 1977-1987 dan Sekjen Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara periode 1973-1975. Jabatan sebagai ketua Ketua Umum Partai Masyumi Baru pernah ia emban pada 1995-2003. Selain itu, Babe juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) periode 1974-1976.
Tokoh yang identik dengan rambut gondrong putih dan peci hitam ini, kemudian juga dikenal sebagai intelektual Islam dan sejarawan, tak cuma dalam skala nasional, tapi juga internasional. Misalnya, saat ia aktif dalam Muktamar Rakyat Islam se-Dunia di Irak pada 1993.
Babe terhitung produktif menulis sejak 1992. Tercatat lebih dari 70 judul tulisan buah pikirnya sudah dibukukan, mulai dari sejarah kebudayaan Betawi, ideologi, politik, kamus politik, hukum, dan konstitusi. Belasan diantaranya bertema sejarah kebudayaan Betawi, dengan buku yang paling menonjol Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Ada Istiadatnya (1997) dan Si Manalagi: Narasi Epos Betawi (2016).
Tokoh Betawi yang Netral
Walaupun Babe semenjak masih aktif di perpolitikan dan organisasi-organisasi penting sudah mewakili entitas Betawi, tapi fokusnya pada masalah-masalah kebudayaan Betawi baru benar-benar dilakukannya selepas lengser dari anggota DPR pada 1987.
Budayawan yang terkenal lugas saat berbicara ini, sengaja memposisikan dirinya sebagai sosok netral dalam konteks pelaku budaya Betawi. Ia mengambil sikap tak akan pernah masuk dalam salah sau organisasi etnik Betawi. Ia menilai, harus ada tokoh Betawi yang berani mengkriktik ke dalam. Bahkan ia tak tertarik masuk dalam salah satu struktur penting pemerintahan DKI Jakarta yakni Badan Musyawarah (Bamus) Betawi.
Babe menjadi salah satu tokoh yang berhasil mengegoalkan puluhan nama tokoh Betawi sebagai pengganti nama jalan-jalan penting di Jakarta, dari total 50 tokoh yang diusulkan. Menurut Ridwan, perubahan nama jalan ini menjadi salah satu cara untuk mengedukasi masyarakat tentang sejarah dan tokoh-tokoh Betawi, lewat edukasi visual.
Maret 2021, Pemprov DKI melarang Ondel-ondel sebagai sarana mengamen. Ridwan Saiki jadi salah satu orang yang menentang kebijakan tersebut. Babe melihat ini tak hanya soal alasan pelesarian budaya, namun juga soal hajat hidup rakyat kecil, khususnya komunitas masyarakat Betawi akar rumput.
Ia juga vokal jadi sosok yang tak hanya peduli dengan kebudayaan Betawi dan sejarah Jakarta lewat tradisi lisan saja, misalnya dongeng. Ia mendorong perlunya pengujian sejarah Jakarta, karena masih banyak cerita-cerita sejarah soal Jakarta yang belum jelas keabsahannya.
Walaupun dalam beberapa kesempatan Ridwan Saidi tampak kontroversial lewat beberapa pernyataannya, umumnya ia lakukan untuk merespon unsur luar yang berpotensi menggerus kelestarian budaya Betawi. Lewat wawasannya yang luas soal sejarah dan kebudayaan Betawi, Babe bahkan sampai mendapat julukan ensiklopedia berjalan.
Ridwan Saidi diakui berperan besar pada budaya Betawi. Sosoknya akan dikenang sebagai politisi senior, pemikir, penulis, sastrawan, dan budayawan nasional khususnya Betawi.
Selamat jalan, Babe.