Thinkway Logo
Rokok Ketengan Dilarang, Pedagang Kecil Pusing, Kultur Meluntur (Sumber: Yahoo! Berita)

Rokok Ketengan Dilarang, Pedagang Kecil Pusing, Kultur Meluntur

THINKWAY.ID – Membeli rokok secara eceran alias ketengan, buat banyak masyarakat Indonesia adalah kebiasaan. Lama-lama, ini jadi kultur karena sudah jadi keseharian. Tahun depan, tampaknya kultur rokok ketengan akan tergerus.

Mulai 2023, konsumen rokok khususnya pembeli eceran, tampaknya akan kembali dibikin pusing, setelah kemarin dihantam dengan berita naiknya cukai rokok dan tembakau. Rupanya, ini terkait rencana pemerintah yang akan melarang penjualan rokok batangan. Dengan kata lain, perokok harus membeli minimal satu bungkus.

Rencana ini tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023. Larangan itu menjadi satu dari tujuh pokok materi muatan dalam rancangan peraturan pemerintah tersebut.

Poin lain yang akan diatur adalah ketentuan rokok elektronik, pembesaran ukuran gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau, penegakan dan penindakan, serta pengaturan kawasan tanpa rokok. Ada juga ketentuan pelarangan serta pengawasan iklan produk tembakau.

Walaupun larangan penjualan ini masih sebatas usulan dan belum ditetapkan, tapi berita ini sempat menyeruak dan jadi trending di pemberitaan dan media sejak kali pertama diteken. Khusus soal pelarangan rokok eceran, pemerintah berdalih, kebijakan ini untuk menurunkan prevalensi perokok di bawah umur.

Dampak Dilarangnya Rokok Ketengan ke Pedagang Kecil

Buat pedagang rokok, barangkali kebijakan ini secara hitung-hitungan akan menguntungkan, tapi jika kemudian omset pembelian rokok ketengan justru menurun, maka jatuhnya bakal sama saja.

Beberapa media sudah melakukan survey kecil-kecilan pada para pedagang rokok, teutama pada warung-warung kecil. Terdapat pendapat beragam. Diantaranya, khawatir omset yang menurun, dan munculnya pertanyaan soal mekanisme pengawasan. Beberapa pedagang khawatir akan ada razia pada warung-warung kelontong kecil. Bahkan malah ada beberapa pedagang yang belum tahu soal aturan ini.

Pedagang asongan baik yang berjalan kaki atau starling (starbucks keliling) hampir bisa dipastikan akan berputar otak untuk menjajakan rokok yang mereka jual. Padahal, kekuatan dan ciri khas pedagang asongan sangat identik dengan rokok ketengan. Akan sangat menyedihkan jika di masa mendatang, terlihat para pedagang asongan dirazia oleh petugas.

Pengawasan Masih Tanda Tanya

Regulasi ini digadang-gadang menjadi cara yang efektif untuk menurunkan prevalensi merokok di Indonesia. Tujuannya, juga untuk mendukung efektivitas kenaikan cukai rokok yang kontroversial.

Tapi jika pengawasan pada anak-anak agar tak membeli rokok saja lemah, bagaimana dengan pengawasan terhadap pembelian rokok ketengan? Prakteknya terbayang akan susah diawasi, dengan begitu banyaknya sebaran warung kelontong dimana rokok adalah salah satu barang konsumsi yang wajib ada di etalase.

Apakah akan ditempatkan petugas khusus atau CCTV di setiap warung? Walaupun ini mungkin saja dilakukan, rasanya agak janggal dan bahkan malah telihat lucu.

Melarang penjualan rokok eceran mirip dengan larangan menjual pertalite eceran. Pembuat kebijakan, intinya mendorong (baca: memaksa) masyarakat untuk memilih dua hal: mengonsumsi atau tidak mengonsumsi apa yang diatur pemerintah.

Masyarakat ekonomi bawah menjadi golongan paling terdampak. Memandang rokok eceran sebagai konsumsi eksklusif anak-anak jelas tidak realistis. Masyarakat miskin juga menjadi konsumen utama rokok ini. Pengecer rokok sendiri juga banyak yang tergolong sebagai masyarakat ekonomi bawah atau menengah.

Melarang rokok eceran tak serta merta mengatasi masalah perokok di bawah umur. Anak-anak bisa saja kemudian patungan untuk membeli rokok. Dengan demikian perokok di bawah umur justru akan lebih konsumtif karena “dipaksa” membeli rokok dalam kuantitas banyak. Kembali lagi ke premis utama: pengawasan.

Belum lagi, pelarangan rokok eceran ini juga akan menambah alasan konsumen untuk beralih ke rokok illegal, karena umumnya berharga lebih murah.

Selama ini, pemerintah belum tampak untuk membuat edukasi larangan rokok bagi anak di bawah umur. Padahal kalau ini dilakukan, mungkin akan lebih efektif untuk menekan angka perokok pemula.

Pelarangan ini belum tentu akan mengurangi prevalensi merokok, karena pasti akan ada yang menjual rokok batangan secara illegal. Apalagi, penjualan rokok batangan biasanya dilakukan oleh pedagang kecil atau asongan yang unit usahanya tak terdaftar.

Rokok Ketengan Sebagai Kultur

Masyarakat Indonesia diakui sebagai entitas unik. Dalam konteks rokok eceran, mungkin saja cuma negara kita yang punya kebiasaan ini. Diluar faktor terjangkaunya harga, tapi ini jadi budaya yang sudah mendarah daging. Maka tak heran, kalau di tongkrongan, sering ada kawan kita yang membawa beberapa batang rokok dalam sebungkus plastik bening kecil.

Keunikan ini ditambah dengan fakta bahwa pada warung kelontong tertentu, terdapat merk-merk rokok tertentu yang lazimnya dijual bungkusan, tapi dijual secara batangan. Beberapa warung Madura sudah melakukannya. Ini jadi salah satu trik yang dilakukan pedagang untuk menjangkau konsumen.

Maka diluar segala perdebatan, pelarangan menjual rokok eceran tak hanya berdampak secara ekonomi, tapi akan merubah kultur unik yang sudah berjalan.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.