THINKWAY.ID – Polemik penentuan tarif cukai rokok hampir selalu repetitf, alias sering berulang. Misalnya, seperti dua tahun belakangan, saat tarif cukai dinaikkan berturut-turut. Pada dasarnya, tak pernah ada konsumen yang menginginkan kenaikan harga.
Terdapat 5 poin penting yang harus diperhatikan jika membahas naiknya cukai tembakau. Pertama kesejahteraan rakyat (tujuan utama). Kedua, Indonesia adalah negara agraris, (tembakau menjadi sektor unggulan). Ketiga, alasan tembakau menjadi sektor unggulan. Keempat, wacana pemerintah. Kelima, dampak dari hal tersebut.
Penting untuk memahami soal polemik ini dari berbagai kajian, temasuk dari literatur, jurnal, buku, atau bahan bacaan lain yang tujuan utamanya adalah, memberikan pemahaman pada khalayak luas soal latar belakang dan sebab-akibat penetapan cukai rokok.
Terdapat beberapa bahan bacaan yang cukup komprehensif soal hal tersebut. Salah satunya adalah buku yang ditulis oleh Sunaryo, dkk., yang berjudul Dinamika Kebijakan Tarif Cukai Rokok – The Untold Story (2019). Buku ini diklaim sebagai pertama di Indonesia yang mengulas kebijakan tarif cukai rokok. Jajaran penulisnya mengklaim telah berpengalaman selama lebih kurang 20 tahun dalam tema yang mereka kaji, dan terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan tarif cukai rokok.
Buku ini menguak dengan transparan berbagai hal di balik proses penyusunan tarif cukai yang jarang diketahui masyarakat umum, mulai dari latar belakang pertimbangan yang diambil, berbagai perubahan sistem, dasar kebijakan yang saling berlawanan, cerita di balik peristiwa uji material PMK-167/PMK.011/2011, peta jalan simplifikasi struktur tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT), hingga pengenaan cukai untuk produk rokok eletronik alias vape (e-liquid/e-juice).
Uniknya, buku ini mengungkap fakta bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah soal cukai, banyak dijadikan rujukan oleh lembaga-lembaga dunia yang terkait.
Ditulis dengan lugas, buku ini seharusnya bisa menjadi panduan penyusunan dan pertimbangan kebijakan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) di Indonesia bagi pemerintah, pembuat kebijakan, akademisi, pelaku industri, dan mahasiswa perpajaka, serta menyebarkan pemahaman untuk masyarakat luas.
Buku ini menggarisbawahi, bahwa salah satu pertimbangan penetapan tarif cukai rokok adalah aspek kesehatan. Kebijakan tarif cukai mulai saat itu tidak lagi bisa bersifat eksklusif yang hanya dibahas internal Kementerian Keuangan, karena Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga terlibat.
Buku ini juga menjelaskan soal dasar pertimbangan tarif cukai rokok yang ditetapkan, meliputi faktor skala industri, bahan baku, padat karya, dan aspek lain.
Pemerintah kalah ketika PMK 167/PMK.011/2011 dilakukan diuji material. Uji materi dilakukan oleh Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) ke Mahkamah Agung (MA) terkait dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 167/PMK.011/2011 tentang Tarif Cukai Rokok yang baru.
Hal utama yang jadi latar belakang uji materi saat itu adalah, tarif cukai rokok yang mengacu PMK tersebut jelas tidak berkeadilan karena lebih menguntungkan pabrik rokok (PR) besar. Jika dirata-rata, kenaikan cukai PR besar hanya 9%, sedangkan PR kecil bisa mencapai 38,3%. Ini bertentangan dengan UU Cukai. Salah satu pasal menyebutkan bahwa kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) rokok tidak boleh melebihi 57%, namun pada tarif cukai rokok baru pada era tersebut mencapai 62%.
Mengacu UU Cukai, PMK tersebut melanggar karena sebelum diterbitkan PMK tentang tarif cukai rokok yang baru, maka Kementerian Keuangan harus terlebih dulu harus menyosialisasikan ke stakeholders, kalangan pengusaha rokok, dan konsumen.
Tarif cukai rokok diharapkan mendorong penyerapan tenaga kerja ramah terhadap keberlangsungan industri rokok, bisa menekan peredaran rokok ilegal, bahkan tarif cukai yang ramah diharapkan bisa melindungi keberadaan “warisan budaya” berupa kretek. Tarif cukai jugalah akhirnya diharapkan bisa menjadi salah satu titik temu penting yang menentukan banyak harapan dalam kebijakan pertembakauan di Indonesia.
Selain akan memperkaya referensi terkait pertembakauan, buku yang tergolong padat informasi ini juga penting untuk membuka cakrawala masyarakat mengenai kebijakan hasil tembakau, dan lebih objektif dalam menilai saat nanti ada lagi (dan lagi) pembahasan mengenai pertembakauan, khususnya tarif cukai rokok yang biasanya selalu “panas” dan seolah-olah tak berujung.
Membaca buku ini, kita akan ikut memahami betapa aspek kebijakan tarif cukai rokok di Indonesia sangat kompleks. Sekaligus, publik diajak untuk sadar, bahwa suara konsumen seharusnya jadi salah satu aspek yang didengarkan oleh pemerintah sebelum menatapkan sebuah kebijakan, dalam hal ini tarif cukai rokok.