Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepakat menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok hingga ‘double digit’ sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35% mulai 1 Januari 2020. Keputusan tersebut sudah mempertimbangkan berbagai aspek.
Salah satu alasannya adalah mengurangi tingkat konsumsi rokok yang saat ini semakin tinggi, terutama pada remaja dan wanita. Tak hanya itu, keputusan ini juga diklaim tetap mementingkan industri rokok dan petani rokok.
Berdasarkan data MUC Tax Research yang dikutip CNBC Indonesia, Senin (16/9/2019), Jokowi tercatat telah menaikkan tarif cukai rokok hingga 50% selama menjabat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Pada 2015, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 8,72%. Kemudian di 2016, 2017, dan 2018 masing-masing sebesar 11,19%, 10,54% dan 10,04% sehingga total 40,49%.
Pada tahun lalu, pemerintah tidak menaikkan tarif cukai rokok. Tahun depan, pemerintah akan menaikkan lagi cukai rokok 23%, sehingga sejak 2015-2020 kenaikan mencapai 63,49%.
Lantas, apakah benar kenaikan tarif cukai yang begitu tinggi dapat menekan angka konsumsi rokok para smokers?
“Variabel yang diperhitungkan adalah pertumbuhan ekonomi, inflasi dan penerimaan negara,” kata Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto kepada CNBC Indonesia, Senin (16/9/2019).
“Kenaikan tarif cukai atau harga rokok lebih rendah atau sebanding dengan inflasi dan kenaikan pendapatan konsumen, maka kebijakan tersebut kurang signifikan mengurangi konsumsi rokok,” katanya.
Menurut Wahyu, pemerintah menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam setiap kebijakan cukai. Sementara itu, kerugian terbesar akan selalu dialami oleh konsumen dan pekerja di industri rokok.
Wahyu menilai, kenaikan tarif cukai mungkin tidak akan berpengaruh signifikan terhadap ongkos produksi karena beban cukai dilekatkan pada harga jual eceran yang ditanggung konsumen, meskipun akan mengurangi keuntungan produsen.
“Yang harus diperhatikan serius dari tenaga kerja di industri rokok. Apakah pemerintah sudah menyiapkan lapangan pekerjaan lain dan membantu mereka alih profesi seiring dengan pelaksanaan roadmap CHT yang cenderung akan mematikan industri rokok?”
“Yang harus diingat juga, cukai adalah alat untuk pengendalian konsumsi barang yang punya dampak negatif terhadap kesehatan. Bukan untuk menimbun sebanyak-banyaknya penerimaan negara,” tegasnya.
Kenaikan cukai rokok, sambung dia, tentu akan membuat harga rokok melambung. Namun, Wahyu menilai, berapa pun kenaikannya tidak akan berpengaruh signifikan terhadap tingkat konsumsi rokok.
“Rokok merupakan barang inelastis yang akan tetap dibeli oleh konsumen meski harus merogoh kocek lebih dalam. Kandungan zat adiktif di dalam rokok membuat konsumen memiliki ketergantungan yang tinggi sehingga barang tersebut sulit tergantikan,” kata Wahyu.***
Sumber: CNBC