THINKWAY.ID – Indra Kenz dan Doni Salmanan jadi dua nama yang sangat sering dibicarakan publik akhir-akhir ini. Keduanya merupakan tahanan Bareskrim Polri usai ditetapkan sebagai tersangka kasus investasi bodong. Sebelumnya mereka dikenal sebagai sosok influencer, atau pemuda kaya raya, atau sultan, atau crazy rich.
Status crazy rich itu melekat seiring dengan perilaku mereka yang kerap kali pamer kekayaan dan kemewahan alias flexing. Dari sana istilah flexing jadi semakin sering dipergunakan. Flexing yang dimaksud adalah mereka melakukan transaksi jual beli barang mewah dengan nominal besar, kemudian meliput dan mengunggahnya di media sosial. Mobil, jam tangan, pakaian, dan berbagai barang branded yang harganya miliaran rupiah pun mereka sebut murah banget. Implikasi yang diharapkan jelas atensi dari masyarakat luas.
Belakangan juga diketahui beberapa kegiatan jual beli yang mereka lakukan adalah fiktif-tipu-tipu, alias pura-pura beli. Adalah Rudy Salim, presiden direktur Prestige Motorcars, yang mengungkapkan fakta tersebut. Dalam podcast bersama Deddy Corbuzier, pria yang juga bos klub RANS Cilegon FC tersebut menyebut bahwa Indra Kenz meminjam sebuah supercar mewah dari perusahaannya hanya sebatas kebutuhan konten. Tentu di dalam kontennya si crazy rich mengaku beli.
“Kita lihat dong ini toh Indra Kenz, Instagram engagement tinggi. Untuk exposure perusahaan nggak apa-apa dong? Banyak juga artis lain,” ujar Rudy Salim.
Dari sudut pandang bisnis, mungkin hal tersebut lumrah. Indra Kenz (dan beberapa artis lain) mendapat atensi. Perusahaan yang mendukung dapat exposure. Win-win solution. Tapi, jika ditilik lebih serius, sebenarnya ada banyak dampak negatif dari fenomena semacam ini, terutama bagi masyarakat umum.
Para crazy rich tersebut berhasil membangun personal branding sebagaimana yang mereka mau. Akhirnya memiliki banyak pengikut. Dan sebagai konsekuensi logis untuk merawat pengikutnya, konten give away pun jadi andalan. Dari sanalah terjalin ikatan antara crazy rich dengan para pengikutnya. Harus diakui, ada banyak orang yang sangat berharap pada sumbangan-sumbangan semacam ini.
Sialnya, give away atau segala bentuk donasi yang mereka lakukan itu dikemas jadi konten untuk kemudian dikapitalisasi lagi. Semakin menyedihkan karena sebagian dari pengikutnya pun tahu bahwa itu semua hanya demi konten, dan mereka merasa tidak masalah dengan itu. Pada titik paling mengkhawatirkan, pamer sumbangan dan bagi-bagi uang seolah jadi hal yang normal.
Ujung-ujungnya terungkap kalau Indra dan Doni bukanlah orang kaya asli, tapi tersangka pelaku kriminal dengan kasus penipuan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Untuk detail kasusnya kalian bisa temukan dan baca sendiri di internet, Genks!
Prof. Rhenald Kasali mengkategorikan orang kaya ke dalam tiga jenis. Pertama, orang kaya asli. Mereka memang bergelimang harta, dan gaya hidup mereka sesuai dengan kemampuan finansialnya. Ya, sebagaimana orang kaya pada umumnya.
Kedua, orang kaya sederhana. Orang kaya jenis ini benar-benar bergelimang harta, namun memilih gaya hidup yang ‘merakyat’. Mereka justru berusaha untuk tidak terlihat kaya raya. Ada banyak motif di belakangnya, bisa jadi memang karakter pribadi, atau mungkin menghindari pajak, dan sebagainya. Intinya, mereka berbaur dengan masyarakat yang secara finansial ada di bawah mereka.
Ketiga, orang kaya flexing. Contohnya adalah Indra Kenz dan Doni Salmanan. Gaya hidup mereka melampaui kemampuan finansialnya. Pamer kekayaan. Menyumbang dan berbagi ke sana ke sini disertai publikasi demi meraih simpati. Merendahkan status sosial orang lain. Itulah karakteristik orang kaya jenis ketiga.
Perilaku pamer atau flexing bukan cuma terjadi di Indonesia. Sebuah film dokumenter yang dirilis Netflix berjudul The Tinder Swindler sempat menguak fenomena ini. Dokumenter ini menceritakan tentang seorang pria yang mengaku kaya raya dan melakukan penipuan di aplikasi kencan online Tinder. Korbannya adalah para perempuan yang silau oleh ‘kekayaan’ yang dipamerkan.
Cecilie Fjellhøy, perempuan asal Norwegia mengaku sebagai seorang tider expert karena sudah sangat sering menggunakan aplikasi Tinder. Ia berkisah tentang serunya mencari kekasih dengan dating apps hingga menemukan pria bernama Simon Leviev, sang crazy rich.
Simon mengaku sebagai pewaris perusahaan berlian Lev Leviev dari Israel. Cecilie tergoda dan menjalin asmara dengan Simon. Mereka berlibur bersama, menikmati dunia, mengakses segala macam kemewahan hidup yang Simon tawarkan. Cecilie terbuai. Hingga suatu hari Simon mengaku tak bisa mengakses kartu kredit miliknya, lantas meminjam kartu kredit milik Cecilie yang sama sekali tidak curiga.
Waktu berjalan, kecurigaan perlahan muncul. Pada akhirnya terbongkar bahwa Simon Leviev bukanlah seorang taipan, melainkan seorang kriminal. Bahkan, Cecilie bukanlah satu-satunya korban. Ada perempuan lain di belahan dunia lain yang tertipu pesona Simon. Singkat cerita mereka bekerja sama dan membongkar kebiadaban Simon. Modusnya terungkap, perlahan korban-korban lainnya ikut bersuara. Di akhir diceritakan pria bernama asli Shimon Yehuda Hayut tersebut berhasil ditangkap oleh interpol.
Dokumenter besutan sutradara Felicity Morris tersebut viral dan jadi salah satu film paling banyak ditonton di Netflix sejak dirilis pada 2 Februari 2022 yang lalu.
Dari Indra Kenz, Doni Salmanan, dan Simon Leviev kita bisa belajar bahwa perkembangan teknologi dan dunia digital justru berbahaya jika tidak diimbangi dengan kewaspadaan dan nalar kritis. Di dunia nyata saja banyak kepalsuan, apalagi dunia maya. Jadi, jangan mudah terlena dengan orang-orang yang hidup mewah ya, Genks! Bisa jadi mereka hanya flexing dan punya niat jahat. Hati-hati.