JAKARTA, THINKWAY – Disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 2024 di tengah pertumbuhan ekonomi yang sedang melambat, dinilai tidak tepat. Seperti diketahui, pada 26 Juli 2024, Presiden Jokowi meneken PP. No 28 Tahun 2024 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Salah satu pasal mengatur tentang aturan penjualan dan pembelian rokok. Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) Putu Rusta Adijaya mengatakan kondisi ini kurang tepat.
Apalagi di tengah kondisi ‘kantong tipis’ bagi mayoritas masyarakat kelas menengah, larangan menjual rokok eceran sangat tidak tepat sekarang ini. “Mereka membeli eceran karena hanya mampunya beli itu. Tidak semua dari mereka harus mengonsumsi satu bungkus rokok. Dikonsumsi ecer kan juga bisa juga karena orang tersebut sedang dalam situasi pelan-pelan mengurangi jumlah konsumsi rokoknya,” ujar Putu, Minggu (4/8/2024).
Pasal 434 PP 23 Tahun 2024 mengatur larangan penjualan rokok secara eceran. Penjualan juga dilarang terhadap pembeli di bawah usia 21 tahun.”Setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik secara eceran satuan perbatang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik,” tulis pasal 434 pada poin d.
Putu juga menilai larangan rokok eceran ini dirasa tidak efektif dan bahkan bisa lebih merugikan.“Adanya pelarangan ini bisa meningkatkan potensi rokok ilegal tersebar di warung-warung, yang konsumsi juga masyarakat. Kalau zat-nya lebih carcinogenic dan lebih berbahaya, yang lebih rugi masyarakat juga. Kalau ilegal, berarti tidak ada dalam bentuk tax revenue (pendapatan pajak) dari rokok itu juga. Pemerintah juga akan kena imbasnya,” tuturnya.
Belum lagi, lanjut dia, potensi pengurangan pendapatan bagi warung-warung dan potensi digerebek karena tidak mematuhi peraturan hukum.“Asumsikan 1 batangnya diecer Rp2.500. Katakanlah satu warung itu mengecer 100 batang rokok, berarti pendapatan dari itu Rp250.000. Mereka bakal kehilangan angka tersebut kalau rokok eceran dilanggar. Nilai itu signifikan untuk mereka,” ujar Putu.
Ia menambahkan, banyak hal yang harusnya menjadi pertimbangan sebelum kebijakan tersebut diterapkan, termasuk dampak yang tidak diinginkan dan efektivitas kebijakan tersebut. (*)