THINKWAY.ID – Seperti diketahui, dua tahun ke depan, pemerintah kembali menaikkan CHT dengan besaran rata-rata 10 persen. Hampir semua kelompok rokok, kini dikenakan kenaikan tarif CHT, mulai dari Sigaret Kretek Mesin (SKM) sekira 11,5-11,75 persen, Sigaret Putih Mesin (SPM) 11-12 persen, dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) sebesar 5 persen. Tak hanya untuk rokok reguler, rokok elektronik juga akan terimbas, bahkan tarif cukainya akan terus naik setiap tahun selama 5 tahun ke depan.
Selama ini, dalih pemerintah menaikkan tarif CHT adalah untuk mengendalikan konsumsi maupun produksi rokok. Kenaikan cukai rokok diharapkan mampu berpengaruh terhadap menurunnya keterjangkauan rokok di masyarakat, sehingga angka perokok turun, atau persentase bertambahnya perokok pemula, menurun. Tapi benarkah demikian? Bagaimana dengan nasib petani tembakau?
Kesejahteraan Petani Tembakau dan Realitanya
Industri rokok termasuk di dalamnya tembakau menjadi komoditi terbesar keempat penyumbang APBN atau devisa negara. Sayangnya, kenyataan tersebut tidak equivalen dengan kondisi petani tembakau.
Tingkat kesejahteraan petani tembakau masih rendah walaupun tembakau termasuk komoditi yang menjanjikan pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa komoditi lainnya.
Selain buruh Industri Hasil Tembakau (IHT) sebagai jumlah pekerja terbesar dalam industri rokok, para petani tembakau juga terimbas saat kenaikan tarif CHT kembali diketuk palu
Petani tembakau sering ditujukan untuk mencapai target-target pemerintah, misalnya untuk meningkatkan penerimaan negara. Hal ini tidak sejalan dengan target pemerintah dalam sektor pertanian yakni meningkatkan kesejahteraan petani.
Umumnya, petani tembakau kurang paham dengan aturan pengendalian tembakau yang bisa jadi untuk mereka, rumit. Yang ada di benak mereka adalah bagaimana caranya agar hasil panen tembakau dihargai layak oleh pabrik rokok. Sehingga kesejahteraan petani, setidaknya mendekati kenyataan. Realitanya, kerap kali nasib petani dan kebijakan pengendalian tembakau adalah dua hal yang tak terkait langsung.
Kenaikan CHT akan sangat mempengaruhi pembelian bahan baku yang ada di sentra penghasil tembakau, dalam hal ini petani tembakau. Menekan biaya bahan baku menjadi satu-satunya pilihan bagi industri untuk menurunkan biaya produksi mereka. Ini membuat, tembakau menjadi dihargai rendah.
Dalam konteks petani, masalahnya menjadi lebih kompleks. Mulai dari upah tenaga kerja buruh tani tembakau, pencabutan subsidi pupuk oleh pemerintah, persaingan dengan masuknya tembakau impor, serta kurangnya perlindungan terhadap penyerapan tembakau nasional, dan faktor luar seperti berubahnya iklim seperti kemarau basah yang membuat potensi gagal panen makin besar.
Ditambah lagi, petani sangat jarang mendapatkan bantuan alat pertanian, subsidi bibit, dan subsidi pestisida. Petani tembakau juga sulit untuk beralih ke komoditi lain karena bertani tembakau sudah menjadi bagian budaya turun temurun.
Biaya yang dikeluarkan untuk menanam tembakau juga cukup besar, mulai dari penyediaan bibit, pemupukan, hingga perawatan dan kemungkinan gagal panen. Biaya tanam itu didapatkan sebagian petani dengan berutang. Petani tidak punya posisi tawar terhadap industri, terutama jika berkaitan dengan penentuan mutu tembakau yang menentukan harga.
Penentuan harga tembakau merupakan monopoli dari pabrik atau pengusaha rokok. Kegagalan pasar dan harga tidak dikendalikan petani, dampaknya petani tembakau belum bisa dikatakan sejahtera.
Walaupun harga rokok naik, tetap saja para tengkulak membeli tembakau dengan harga murah. Saat harga rokok mahal, omzet penjualan rokok akan anjlok di pasaran. Otomatis, dampaknya akan mengganggu keuangan pabrik rokok. Untuk menyetabilkan keuangannya, pabrik rokok akan ikut menekan harga tembakau dari petani dengan harga murah.
Petani tembakau yang memberikan sumbangsih untuk APBN tak langsung lewat tariff CHT, justru tak pernah menerima perlakuan khusus dari negara, bahkan sering didera kampanye negatif. Padahal, jumlah petani tembakau berjumlah setidaknya 6 juta jiwa, ditambah dengan rumah tangga petani. Mereka semuanya bergantung dari hajat hidup tembakau di Indonesia.
Satu lagi yang harus dikawal bersama adalah, jika Indonesia menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Salah satu bunyi artikelnya, yaitu negara harus melakukan konversi ke tanaman lain agar nilai ekonominya tinggi. Konsumen rokok dibatasi, atau hilang. Perkebunan tembakau bisa perlahan mati.
Hal yang juga sering luput dari pembahasan adalah pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) bagi petani tembakau. Secara spesifik untuk petani tembakau, DBHCHT seharusnya bisa dialokasikan untuk peningkatan kualitas bahan baku, iuran jaminan produksi, subsidi harga, serta batuan bibit, benih, pupuh, sarana dan prasarana produksi.
Ketika musim panen dan harga tembakau anjlok, DBHCHT juga seharusnya bisa menjadi dana talangan bagi petani. Dengan begitu, kerugian yang ditanggung petani tidak begitu besar.
Selain itu, DBHCHT juga seharusnya bisa dipakai kelompok tani untuk menjalin kerja sama dengan pabrik rokok sehingga rantai tata niaga melalui petani-pengepul kecil-pengepul besar-grader-perwakilan pabrik yang merugikan petani bisa dipangkas. Dana bagi hasil bisa menjadi daya tawar petani.