THINKWAY.ID – Perjalanan tembakau di Indonesia tak bisa dilepaskan dari Deli, dengan tembakaunya yang punya reputasi termasyhur di masa lalu, bahkan hingga ke Eropa. Di masa Kolonial Hindia Belanda, primadona dari Sumatera Utara ini aromanya tersohor hingga Bremen, Jerman, dan belahan benua Eropa Barat lain. Tembakau Deli adalah bagian erat dari sejarah Medan dan Sumatera Utara.
Pada masa itu, Deli dikenal sebagai salah satu penghasil tembakau terbaik dunia. Karl J. Pelzer, penulis buku Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria (1976), menyebut Deli sebagai “Dollar Land”. Perpaduan antara bibit, iklim, dan jenis tanah di daerah Deli menghasilkan tembakau dengan aroma serta cita rasa yang sedap dan gurih. Aromanya khas dan sangat berbeda dari tembakau pada umumnya. Terutama, tembakau kualitas yang dibudidayakan di antara dua sungai besar di Sumatera Utara yaitu sungai Ular dan sungai Wampu.
Pada masa itu, tembakau asal Deli punya nilai jual lebih baik dibandingkan tembakau lain di dunia. Tembakau ini sangat cocok dipakai sebagai pembungkus cerutu.
Sejarah Tembakau Deli
Tahun 1864, tembakau Deli kali pertama kali ditanam di daerah Deli oleh seorang pioneer Belanda, Jacobus Nienhuys. Tahun 1869, didirikan perusahaan perkebunan tembakau bernama Deli Maatschappij. Diikuti kemudian Deli Batavia Maatschappij pada 1875. Kemudian pada 1877, didirikan Tabak Maatschappij, Senembah Maatschappij pada 1889. Pemerintah Indonesia mengambil alih perusahaan-perusahaan ini pada 1957.
Dalam perjalanannya, industri tembakau Deli berkembang cepat dan menarik penikmat cerutu dari Eropa. Investasi pun berkembang pesat. Ini mengiringi pertumbuhan kota Medan menjadi kota besar. Ribuan warga dari multi etnis misalnya China, India, dan Jawa berbondong-bondong ke Medan untuk menjadi tenaga kerja penyokong industri ini. Bisa dikatakan, ini juga cikal bakal penduduk Medan sebagai kota multi-etnis dan multi-kultural.
Tak heran jika banyak yang menyebut Medan mulai beranjak menjadi kota metropolitan dan sangat kental dengan Eropa. Tahun 1930, tercatat 11.000 orang Eropa tinggal di Pantai Timur Sumatra. Mereka berasal dari Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Prancis-Belgia, Swiss, Jepang, dan Jerman. Mayoritas secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam industri perkebunan tembakau. Bangunan-bangunan megah hingga fasilitas publik marak dibangun.
Kemunduran Tembakau Deli
Faktor ketidakcocokan lahan menjadi penyebab utama kemunduran industri tembakau Deli. Tembakau ini hanya cocok ditanam di sekitar Medan dan Langkat. Sejumlah perkebunan bangkrut. Ditambah lagi saat 1957 saat pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi perusahaan perkebunan tembakau.
Faktor kemunduran lain adalah perawatan tembakau yang rumit, karakternya yang sensitif, dan butuh treatment khusus. Investasi lain yang lebih menjanjikan menjadi faktor tambahan. Produsen tak bisa menentukan harga karena sistem lelang dalam penjualan. Walau terus merugi, sisa perkebunan tak ditutup pemerintah karena faktor historis.
Kisah Pilu Buruh Perkebunan
Perkebunan tembakau Deli tak hanya menyisakan cerita masa kejayaan, tapi juga kisah pilu, yakni praktik perbudakan. Awalnya, orang Melayu dan Batak tak mau bekerja sebagai buruh perkebunan. Jacobus Nienhuys lalu mencari tenaga kerja dengan mengimpor kuli-kuli Tiongkok dari Penang, Malaysia. Setelah perkebunan berkembang, ia mendatangkan ribuan kuli dari Tiongkok, Singapura, Jawa, Banjar, dan India. Kuli-kuli ini diupah murah, yang membuat membuat perusahaan meraup untung besar. Praktek ini disebut sebagai praktek perbudakan terstruktur pertama di Indonesia.
JT Cremer, pengganti Nienhuys, merancang Ordonansi Kuli yang disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1880. Ordonansi Kuli berisi peraturan yang mengizinkan perusahaan untuk mengikat kuli dalam kontrak selama tiga tahun. Para pekerja itu dikondisikan untuk membayar “utang” sebagai ganti ongkos transportasi dari asal mereka menuju tanah Deli.
Kontrak termasuk sanksi pidana yang memungkinkan perusahaan untuk menghukum pekerja jika mereka membatalkan perjanjian. Peraturan tersebut memberikan kekuasaan kepada pemilik perkebunan untuk menghukum kuli yang dianggap tidak patuh, malas, atau mecoba melarikan diri.
Perbudakan ini diungkap oleh Van der Brand, pengacara Belanda di Medan pada 1920. Ia mengungkapkan kekejaman pekebun kolonial terhadap pekerja mereka, dalam sebuah pamflet berjudul De Millionen uit Deli, Jutaan dari Deli. Publikasi ini membuat ia dijuluki “Max Havelaar dari Deli”.
Tan Malaka, yang pernah menjadi guru di perkebunan Deli pada era 1920-an, menggambarkan kehidupan di perkebunan tersebut. Ia menyebut bahwa Deli adalah, tanah emas, surga bagi kapitalis, tetapi tanah keringat, air mata, dan kematian, neraka bagi para pekerja. Kuli dipaksa bekerja, mereka adalah budak. Para kuli bekerja dari fajar hingga malam, tinggal di kandang seperti kambing, dan bisa dipukuli kapan saja dan bisa kehilangan istri dan anak perempuan mereka kapan saja saat bekerja di perkebunan tembakau.
Warisan Tembakau Deli
Medan berhutang pada tembakau Deli karena turut mengiringi perjalanan kota ini sebagai kota metropolitan. Bahkan saking melekatnya tembakau ini bagi masyarakat Deli, sampai dijadikan simbol-simbol publik. Klub sepakbola Persatuan Sepakbola Medan Sekitaranya (PSMS) menggunakan tembakau sebagai lambing di logo klub. Enam helai daun tembakau menghiasi logo PSMS.
Universitas Sumatra Utara (USU) juga menggunakan daun tembakau sebagai lambang universitas. Rangkaian daun tembakau berwarna hijau melambangkan tembakau Deli, merujuk pada daerah lokasi USU berada.
Selain itu, terdapat Rumas Sakit (RS) Tembakau Deli dibangun tahun 1870. RS ini awalnya difungsikan untuk memberi pelayanan kesehatan kepada para kuli kebun tembakau. RS tembakau Deli menjadi RS modern pertama di Sumatera pada masa Hindia Belanda, dan punya gedung khusus untuk pasien penyakit tropis.
Kini, tembakau Deli ditetapkan menjadi warisan budaya. Sekaligus pengingat sejarah panjang perjalanan tembakau di Indonesia.