THINKWAY.ID – 10 November diperingati rutin sebagai peringatan Hari Pahlawan Nasional. Sejak bangku sekolah dasar, masyarakat Indonesia diberikan pemahaman soal tokoh-tokoh yang berjasa dalam perjalanan bangsa. Tokoh-tokoh ini umumnya dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Umumnya masyarakat mengetahui pahlawan-pahlawan nasional yang sudah kerapkali disebutkan, seperti Soekarno, Moh. Hatta, Wage Rudolf Soepratman, dan pahlawan-pahlawan nasional pra-kemerdekaan, seperti R.A Kartini, Pangeran Dipnegoro, Cut Nya Dien, dan lain-lain.
Begitu banyak tokoh nasional yang masih jarang disebutkan, karena berbagai sebab. Masyarakat umumnya mengukur kepopuleran serang tokoh dari jasanya terhadap perjuangan kemerdekaan, tapi sering alpa pada hasil pemikiran dan gagasan seorang tokoh nasional. Padahal, gagasan tokoh-tokoh nasional banyak yang masih relevan dengan kondisi kiwari.
Salah seorang tokoh nasional yang menempuh jalan sunyi semasa ia hidup adalah Tan Malaka. Ia berkontribusi besar pada dunia pendidikan Indonesia. Jebolan sekolah Belanda ini mendedikasikan diri untuk mencerdaskan pribumi. Dalam kurikulum-kurikulum pendidikan yang ia gagas, selalu terselip semangat melawan penindasan dan perjuangan untuk mendapatkan hak sebagai manusia dan warga negara.
Dikenal sebagai sosok yang kontroversial, sosok yang bergelar Datoek Tan Malaka ini lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada 2 Juni 1897. Nama aslinya adalah Sultan Ibrahim. Tan Malaka lahir dari rahim seorang perempuan bernama Sinah Simabur. Ayahnya bernama Rasad Caniago. Orang tua Tan tergolong bangsawan, berprofesi sebagai pegawai pertanian Hindia Belanda. Barangkali ini berpengaruh besar pada pola pikir Tan Malaka di kemudian hari.
Ia mengenyam pendidikan sekolah rendah, lalu berlanjut ke sekolah guru pribumi (Inlandsche kweekscholl Voor Onderwijzers) di Bukit Tinggi, pada 1908-1913. Atas jasa dan rekomendasi GH Horensma, gurunya di sekolah guru, ia disarankan untuk meneruskan studi ke Belanda. Para Engku sepakat menyumbang Rp50 setiap bulan untuk ongkos pendidikan ini. Komunitas lokal Bukit Tinggi tampaknya melihat potensi besar Tan Malaka.
Saat berusia 17 tahun, Tan Malaka bertolak ke Belanda. Ia menjalani hari-hari di Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah (Rijksk Weekschool) di Harlem. Pengetahuannya soal revolusi muncul dan semakin meningkat saat masa kuliah ini. Buku de Fransche Revolutie jadi bahan bacaan utamanya. Setelah Revolusi Rusia Oktober 1917, ia tertarik mempelajari Sosialisme dan Komunisme. Tan muda melahap habis buku-buku karya Karl Max, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin.
Seusai Perang Dunia I, Tan Malaka kembali ke Indonesia. Tahun 1919, kali pertama ia menjadi pendidik untuk anak-anak pekerja kuli kontrak di perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Utara. Gajinya setara dengan guru Belanda. Ini jadi salah satu faktor kecemburuan sosial pada rekan-rekan sesama pendidik yang berasal dari Belanda. Tan Malaka dipandang rendah hanya karena ia pribumi.
Tan menjadi pembeda, karena gagasannya soal revolusi begitu kuat, berangkat dari apa ia lihat selama di perkebunan tembakau tersebut. Kesejahteraan para pekerja kuli perkebunan tembakau begitu memprihatinkan. Ia kemudian membuat kurikulum khusus untuk menanamkan kesadaran pada anak-anak didiknya soal kondisi memilukan tersebut. Gagasan radikal dan aksi nyata Tan Malaka kali pertama tertuang dalam aksi mogok buruh di perkebunan tembakau tersebut.
Tan Malaka dan Konsep Pendidikan
Saking pentingnya pendidikan, Tan berkata: “Mengajari anak-anak Indonesia saya anggap pekerjaan tersuci dan terpenting”. Ini ia tulis dalam memoarnya yang legendaris, Dari Penjara ke Penjara, jilid I, tahun 1948. Menurutnya, tujuan pendidikan itu untuk mempertegas kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.
Tan mengemukakan bahwa pendidikan di negeri ini mestinya punya konsep tersendiri yang benar-benar sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia. Tan memandang jauh ke depan dari masanya. Ia melihat, pendidikan merosot, karena berorientasi pada praktek liberalis dan kapitalis sehingga semakin jauh dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Ia meletakkan landasan dasar pendidikan yaitu: Pendidikan adalah dasar untuk melepaskan bangsa dari keterbelakangan dan kebodohan serta belenggu Imperialisme-Kolonialisme.
Tan Malaka menekankan pada materi pendidikan yang tersimpul menjadi tiga bagian. Pertama; memberi “senjata” yang cukup buat mencari kehidupan dalam dunia kemodalan dalam arti memperkuat literasi, berhitung, membaca, menulis, ilmu bumi, bahasa asing, bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Kedua; memberi hak penuh pada peserta didik dalam hal jalan pergaulan. Murid-murid harus paham konsep berjejaring. Kemudian ketiga; menujukkan rasa peduli terhadap kaum Kromo (rakyat jelata).
kalau ditelaah, gagasan Tan Malaka soal pendidikan adalah modal dasar bagi kemajuan dari bangsa yang merdeka dalam politik, ekonomi, sosial dan budaya sehingga menjadi bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Praktek pendidikan Tan Malaka bisa disebut sebagai pedagogik transformatif, yaitu proses memanusiakan manusia untuk dapat membentuk masyarakat baru dan pengetahuan baru yang diciptakan oleh keterlibatan mereka sendiri.
Pendidikan diposisikan agar masyarakat mempunyai kesadaran dari pendidikan yang tertindas dan tertinggal. Setelah sadar, diharapkan masyarakat dapat membongkar tatanan atau relasi sosial yang tidak adil dan mengembalikan kemanusian manusia. Pemikiran pendidikan kritis yang digagas dan di implememntasi oleh Tan Malaka pada masa pra-kemerdekaan masih relevan dengan kondisi temutakhir Indonesia. Seharusnya bisa menjadi inspirasi dan landasan pendidikan nasional yang berkarakter pancasila sesuai kebudayaan bangsa Indonesia.
Tan Malaka dan Kurikulum Mandiri
Tan Malaka menggagas kurikulum mandiri yang berbeda dengan sekolah rendah yang sudah ada pada masa itu. Misalnya, saat ia mengajar bahasa Belanda pada murid-murid yang terdiri dari golongan kelas bawah. Seperti saat ia mengelola Sekolah Sarekat Islam pada 1921 di Semarang. Padahal pada masa itu, penutur bahasa Belanda masih sangat terbatas dari pribumi kelas priayi yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah elite Belanda.
Tan berpendapat, bahas asing penting, karena banyak anak didiknya yang cerdas, tapi kekurangannya hanya pada penguasaan bahasa asing, dalam hal ini bahasa Belanda. Ini adalah dasar untuk melakukan perlawanan pada kolonial.
Hak bermain untuk anak-anak juga dikedepankan oleh Tan. Salah satu ciri khas dalam sekolah yang ia kelola adalah, anak-anak tak melulu ada di dalam ruang kelas, tapi ada porsi waktu luang untuk bermain dengan teman sebayanya. Menurutnya, anak-anak berhak untuk merasakan kegembiraan dan saat usia sekolah, sehausnya jangan diseret dalam kehidupan keras orang tua mereka, yang kebanyakan berasal dari klangan kasta rendah.
Materialisme adalah cara berpikir yang tepat, berdasarkan materi (matter) yang terwujud dalam berbagai bentuk. Artinya berfikir itu harus didahulu matter, bukan ide. Tahap berikutnya adalah dialektika, yakni pertentangan, pergerakan yang menuju perkembangan cara berfikir.
Gagasan ini termaktub dalam Madilog, pemikiran Tan Talaka yang tertuang dalam buku berjudul sama. Madilog adalah akronim dari Materialisme, Dialektika, dan Logika. Madilog ditulis dalam persembunyiannya dari kejaran tentara Jepang. Ditulis selama kurang lebih 3 jam per hari dan memakan waktu 8 bulan, Madilog dianggap sebagai buku yang paling mewakili pemikiran Tan Malaka. Madilog adalah seni berpikir dalam mengambil keputusan. Konsep pendidikan yang ia gagas, sebenarnya merupakan turunan teknis dari Madilog. Murid-murid diharapkan dapat berpikir kritis.
Pendidikan, menurut Tan Malaka, adalah mendidik manusia agar tak sekadar pandai tapi juga berjiwa merdeka dan peduli pada nasib rakyat. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu memanusiakan manusia.