Srinthil, demikianlah namanya. Srinthil ini tentu bukanlah nama seorang ronggeng, penari tayub, berasal dari Dukuh Paruk yang diceritakan dalam novel karya Ahmad Tohari. Srinthil ini adalah nama tembakau lokal.
Demikian sangat spesifiknya entitas tembakau ini, Srinthil hanya dapat muncul di daerah Temanggung. Itupun tak muncul di seluruh daerah di Temanggung.
Terletak persis di bagian tengah Pulau Jawa, Kabupaten Temanggung di Jawa Tengah memiliki luas wilayah 870,65 km2. Terutaman terdiri dari kawasan pegunungan pada ketinggian 500–1.600 meter di atas permukaan laut, bersuhu rata-rata 20 – 30 derajat celcius.
Areal tembakau tersebar di 15 kecamatan. Membentang di kaki dan lereng tiga gunung, yaitu Gunung Sindoro, Gunung Sumbing dan Gunung Prahu, di dataran tinggi berhawa sejuk inilah terhampar ladang-ladang tembakau sebagai tanaman musiman yang menjadi salah satu sumber utama perekonomian daerah sekaligus masyarakat setempat.
Dengan jenis tanah, ketinggian, suhu, paparan sinar matahari dan ketersediaan air yang berbeda-beda, maka setiap kecamatan penghasil tembakau di Temanggung memiliki produktivitas lahan dan mutu daun tembakau yang beragam pula.
Namun demikian tembakau rajangan Temanggung dikenal memiliki kualitas yang baik dan nilai ekonomi yang tinggi dibandingkan jenis-jenis tembakau dari daerah lain. Oleh masyarakat setempat, khususnya pada jenis-jenis tembakau yang berasal dari daerah lereng timur Sumbing juga di sebagian kecil lereng Sindoro dan Prahu, seringkali lebih berfungsi sebagai pemberi rasa dan aroma (flavor grade).
Tembakau jenis ini diibaratkan serupa lauk pada sepiring nasi. Tak heran masyarakat setempat secara lingua franca menamainya “tembakau lauk.” Disebut demikian karena jenis ini memiliki rasa dan aroma khas.
Jenis ini berfungsi sebagai bahan racikan (bland), di mana komposisi tembakau Temanggung berkisar antara 12–24% bercampur dengan beragam jenis tembakau lokal daerah lain untuk membuat sebuah produk kretek.
Jika cerutu Kuba baru diakui kualitasnya setelah dicampur tembakau Vuelta Abajo, maka kretek produksi Indonesia belum absah sebagai kretek terbaik jika tak mengandung tembakau Srinthil dari Temanggung. Tak heran Mark Hanusz dalam “The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarette” (2000) menjuluki tembakau lauk asal Temanggung itu sebagai ‘Vuelta Abajo’-nya Indonesia.
Bicara kualitas mutu tembakau sendiri dipengaruhi oleh posisi daun pada batang. Semakin tinggi posisi daunnya semakin tinggi mutunya. Makin tinggi posisi daun makin tinggi kadar nikotinnya. Juga semakin tinggi tempat tanamnya, maka umur tanaman menjadi semakin panjang. Semakin panjang umur tanaman tembakau, maka waktu untuk mengakumulasi nikotin juga semakin panjang. Ini mempengaruhi kadar nikotin dalam daun tembakau.
Sebutlah itu tembakau Lamuk. Ini ialah jenis mutu tembakau terbaik. Dihasilkan di lereng utara dan timur Sumbing. Tembakau Lamsi juga berasal dari lereng utara dan timur gunung itu, kualitasnya berada di bawah jenis Lamuk. Tembakau Paksi berasal dari lahan tegal di lereng utara dan timur Sindoro.
Tembakau Toalo berasal dari lereng barat dan selatan Sumbing, berada di Desa Tegalrejo sampai Parakan. Tembakau Kidul berasal dari lereng timur Sumbing yang berbatasan dengan penghasil jenis Lamsi dan Tionggang. Jenis Tionggang atau juga biasa disebut tembakau sawah dihasilkan dari lahan sawah di sebelah selatan dan tenggara Sindoro. Tembakau Swanbing adalah tembakau yang dihasilkan di lereng Prahu.
Nah, posisi tembakau Srinthil berada di puncak hirarki dari tembakau lauk. Selama ini, fenomena Srinthil tercatat hanya biasa muncul di Desa Legoksari, Losari, Pagergunung, Pagersari, Tlilir, Wonosari, Bansari, Wonotirto, Banaran, Gandu, Gedegan dan Kemloko.
Srinthil juga rasanya lebih berat. Hasil analisis Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat pada 2013 terhadap contoh tembakau Srinthil, ternyata memiliki kadar nikotin bervariasi antara 5,05%–7,58%.
Fenomena Srinthil hanya dapat muncul dari hasil tembakau yang dihasilkan di daerah dengan ketinggian di atas 800 m dpl. Akan tetapi tidak semua tempat di ketinggian itu serta-merta dapat menghasilkan Srinthil. Bahkan pada lahan yang sama di masa panen berbeda, bisa jadi pada suatu momen tertentu menghasilkan Srinthil tetapi pada momen lain ternyata tidak.
Berdasarkan penuturan petani, khususnya penghasil Srinthil, mutu istimewa itu hanya akan terjadi bila cuaca selama musim tanam tembakau sangat kering dan muncul dari jenis varitas tembakau lokal yang bernama Kemloko, Kemloko 1 dan Kemloko 2.
Setelah daun tembakau itu dipetik dan digulung rapi, sebelum dirajang, petani di daerah-daerah tersebut di atas akan berharap-harap cemas bisa menghasilkan Srinthil. Pemeraman bertujuan mengubah warna daun dari hijau menjadi kuning sampai coklat. Muncul puthur kuning saat diperam, demikian sering disebut oleh masyarakat lokal. Puthur kuning yaitu semacam mikro organisme berwarna kuning dan mengeluarkan cairan dan aroma mirip alkohol.
Pemeraman sendiri merupakan proses fermentasi yang dikatalisir oleh enzim-enzim tertentu. Proses ini dilakukan secara alami, mengandalkan sumber energi hasil pemecahan pati menjadi gula dan selanjutnya gula menjadi CO2 dan H2O ditambah energi.
Daun yang berpotensi menjadi Srinthil mulai diketahui setelah diperam lima hari. Daun itu berubah warna menjadi coklat kehitaman. Pemeraman akan diteruskan jika muncul tanda-bahwa menjadi Srinthil. Daun tembakau yang diperam itu tidak bakalan busuk, bila dirajang tidak menghasilkan struktur seperti serat tetapi menjadi hancur menggumpal, dan bila telah kering berwarna coklat kehitaman sampai hitam cerah dan mengkilat.
Pada “tembakau temanggungan” demikian lazim disebut, kualitas mutu rendah yang berasal dari daun posisi bawah cenderung memiliki warna hijau kekuningan cerah; sedang semakin tinggi mutunya yang berasal dari daun posisi atas maka warnanya juga cenderung menjadi makin kehitaman bahkan hitam berkilat (bahasa Jawa: “nyamber lilen”).
Kualitas mutu yang berbeda juga berpengaruh pada harga yang berbeda. Jika harga rerata tembakau per kilogram di Temanggung berkisar antara Rp40.000 hingga Rp125.000, maka untuk jenis Srinthil harganya bisa berkisar antara Rp600.000 hingga 1 juta.
Secara keseluruhan, merujuk pada buku yang berjudul Kretek—Kajian Ekonomi dan Budaya 4 Kota diestimasi, peredaran uang selama musim penanaman hingga masa panen di Temanggung mencapai lebih dari 2 triliun. Angka ini tentu sangat fantastis, melebihi buget APBD Kabupaten Temanggung pada 2018.
Sejauh ini, ilmu pengetahuan modern, khususnya di pusat-pusat penelitian budidaya tembakau, secara saintifik memang belum mampu mengungkap secara ilmiah rahasia dari kemunculan sang primadona itu. Berbagai eksperimen untuk menghasilkan tembakau dengan kualitas mutu Srinthil tentu telah dilakukan berulang kali.
Dengan memanfaatkan mikroorganisme yakni puthur kuning, yaitu dengan mekanisme diisolasi, inokulasi dan disemprotkan ke daun tembakau, tapi ternyata hasilnya tetap saja nisbi tidak terjadi. Mikroorganisme itu tak berhasil berkembang sehingga pemeraman daun tembakau itu akhirnya juga tidak berhasil mengeluakan kualitas mutu Srinthil. Ya, selalu gagal.
Karena kualitas mutu Srinthil tidak bisa diciptakan, maka kedatangan si primadona ini oleh masyarakat Temanggung sering dilekatkan dengan aspek mistik. Konon, daun tembakau yang bakal menjadi Srinthil itu, pada malam hari akan tampak mengeluarkan cahaya kuning di kegelapan.
Sebagian masyarakat petani percaya, cahaya itu diturunkan oleh para dewa di langit. Srinthil bagi mereka adalah suatu ‘pulung’ atau ‘ndaru rigen’, sebuah keberuntungan atau berkah yang tidak dapat direncanakan oleh manusia dan semata terjadi karena kuasa Tuhan.
Sumber: Indonesia