THINKWAY.ID – Serial House of the Dragon (HOTD) baru saja menuntaskan episode pamungkasnya pada Minggu (23/10). Banyak hal yang berhasil mematahkan keraguan penggemar soal apakah serial ini bisa setidaknya, menyamai reputasi Game of Thrones (GOT). Sebagai prequel GOT, saat awal diluncurkan, HOTD digadang-gadang bakal menampilkan konflik, intrik politik, dan perebutan kekuasaan antar klan atau keluarga, dalam hitam putihnya masing-masing.
Setelah episode finale diluncurkan, bisa dikatakan ekspektasi penggemar terpuaskan. Mulanya, penonton fanatik HOTD banyak yang berharap perang habis-habisan yang melibatkan naga-naga berikut para penungganya, bakal tervisualkan di HOTD. Alih-alih menampilkan hal, itu, Ryan J. Condal, kreator dan penulis HOTD tampaknya sengaja membuat ending tanggung. Hal ini justru berhasil membuat penonton menjadi paham bahwa motif yang kelewat sederhana tak cukup untuk membuat dua kubu yang saling bertikai saling bakar lewat naga mereka masing-masing.
Beberapa karakter dalam HOTD begitu menarik untuk dikaji, dalam hal pengembangan karakter. Ciri khas HOTD masih konsisten seperti dalam GOT. Tak pernah ada karakter yang benar-benar putih atau hitam. Hampir semua bertransformasi masing-masing sesuai dengan kapasitasnya. Tak ada yang bisa memperkirakan bahwa sebuah karakter akan menjadi sosok yang baik atau jahat. Penggambaran lebih tepat untuk ini adalah, tiap karakter mengalami pendewasaan dalam versinya masing-masing. Baik dan jahat adalah perspektif.
Dalam GOT, muncul beberapa karakter kuat seperti Tyrion Lanister (Peter Dinklage), Arya Stark (Maisie Williams), Tywin Lannister (Charles Dance), Jon Snow (Kit Harington), dan lain-lain. Maka di HOTD, ada beberapa karakter yang juga sangat menarik untuk ditelaah. Terdapat beberapa karakter HOTD yang layak mendapat standing applause, bukan hanya karena ia punya peran vital dalam keseluruhan plot HOTD, tapi juga karena berhasil dibawakan dengan baik dan terukur oleh aktor dan aktris yang memerankannya.
HOTD tak bisa lepas dari karakter kunci seperti RhaenyraTargaryen (Milly Alcock & Emma D’Arcy), Otto Hightower (Rhys Ifan), Alicent Hightower (Emily Carey & Olivia Cooke), Daemon Targaryen (Matt Smith), dan Rhaenys Targaryen (Eve Best). Walaupun karakter lain juga tak kalah penting, namun kelima karakter ini begitu menonjol dalam keseluruhan HOTD season pertama.
Rhaneyra Targareyan: Sosok Sederhana nan Kompleks
Banyak yang bersepakat kalau RhaenyraTargaryen adalah sosok yang layak untuk diulas dalam pengembangan karakter HOTD. Latar belakang Rhaenyra sederhana sekaligus kompleks. Ia merupakan anak perempuan satu-satunya Viserys I Targaryen (Paddy Considine) dari istri pertamanya, Aemma Targaryen (Sian Brooke). Sebelum era Dance of Dragons atau perang besar, Viserys adalah satu-satunya raja yang diakui. Ia selalu berharap punya anak laki-laki sebagai penerus tahta, tapi “kesialan” tampaknya menimpa Rhaenyra karena terlahir sebagai perempuan. Tapi kondisi ini sekaligus merupakan keuntungan. Ia bertransformasi jadi sosok wanita tangguh.
Klaim kekuasan yang telah djatuhkan Viserys pada Rhaenyra di hadapan Lord House klan-klan yang berpengaruh dan mengaku tunduk, tenyata tak punya nilai tawar saat sahabat masa kecil hingga remaja Rhaenyra, Alicent, dinikahi oleh Viserys, dengan provokasi Otto Hightower, ayah Alicent. Keruwetan bertambah dengan lahirnya adik tiri Rhaenyra, Aegon. Sosok ini berpotensi mengganggu klaim tahta Rhaenyra. Posisi Rhaneyra semakin kompleks karena ia dilematis, harus menakar nilai persahabatan antara dirinya dengan Alicent.
Milly Alcock dan Emma D’Arcy memerankan Rhaenyra dengan baik, masing-masing dalam versi remaja, maupun versi dewasa pasca time skip. Apa yang ia alami lebih banyak terpengaruh faktor eksternal, sehingga segala pengambilan keputusan dan sikap yang ia pilih sebenarnya punya alasan ideologis dan logis, seiring dengan pendewasaan. Ia harus bertahan dalam kondisi yang tak ideal sekalipun.
Rhaenyra adalah karakter yang dalam kondisi normal, sebenarnya tak berminat untuk duduk dalam kekuasaan tertinngi sebuah kerajaan. Namun,posisi politis membuatnya tak punya pilihan lain. Pun ketika ia dibaiat sebagai Ratu, Rhaenyra juga masih bisa menakar keputusan apa yang akan ia lakukan. Contohnya, ketika ia dihadapkan untuk menyatakan perang pada Klan Hightower, ia masih mempertimbangkan banyak hal. “Aku tak mau memimpin negeri yang penuh dengan api dan abu”, ujarnya dalam episode pamungkas HOTD.
Rhaenyra Targaryen Sebagai Perempuan Besi
Karakte Rhaenyra Targaryen dalam HOTD adalah karakter yang paling mirip dengan Margaret Thatcher, sosok Perdana Menteri perempuan satu-satunya Inggris, sosok pemimpin perempuan yang dicintai sekaligus dibenci. Margaret Thatcher menjabat hingga hampir tiga periode kepemimpinan, (1979-1990). Ia dijuluki Iron Lady karena sikapnya yang keras menentang komunisme.
Margaret Thatcher banyak menelurkan kebijakan tak populer pada masanya, tapi terbukti manjur dalam jangka panjang. Misalnya, ia adalah sosok yang tak percaya dengan supremasi Uni Eropa, terbukti sampai sekarang banyak warga Inggris yang mendukung keluarnya Inggris dari Uni Eropa (British Exit: Brexit).
Seperti Margaret Thatcher yang tegas mendeklarasikan perang dengan Argentina untuk merebut Pulau Falkland (1982), kelak Rhaenyra Targaryen pada season 2 HOTD juga terindikasi akan mengibarkan perang dengan House of Hightower. Dalam adegan akhir di episode 10 season 01, Rhaenyra tampak habis kesabaran karena mendengar kabar Lucerys Velaryon meninggal dalam sebuah insiden kejar mengejar naga dengan Aemond Targaryen. Konfrontasi terbuka pun diperkirakan akan terjadi antara kedua klan tersebut pada musim kedua HOTD yang akan dirilis dua tahun mendatang.
Rhaenyra Targaryen juga dicintai sekaligus dibenci. Penonton akan terganggu dengan intrik politik dan perkawinannya dengan pamannya sendiri, Daemon Targaryen, tapi sekaligus bersimpati saat ia terindikasi untuk mendeklarasikan perang, sebagai pemantik utama Dance of Dragons, perang habis-habisan keluarga pengendali naga dalam semesta HOTD.