THINKWAY.ID – Liga Italia boleh jadi merupakan kompetisi terbaik di era 90-an. Hingga periode 2000 awal, Serie A masih menjadi kutub kekuatan sepakbola Eropa, bahkan dunia. Liga para bintang, liganya para jawara.
Klub tradisional seperti Juventus, AC Milan, dan Inter Milan malang melintang di panggung sepakbola internasional. Tiga tim itu menjadi rujukan ketika bicara klub besar. Selain itu masih ada kuda hitam seperti AS Roma, Lazio, Napoli, dan Fiorentina yang kerap bikin kejutan. Serie A semacam surga bagi para pecinta sepakbola.
Betapa tidak, selain pemain lokal seperti Maldini, Totti, dan Del Piero, pencinta sepakbola dunia bisa menikmati keganasan Trio Belanda-nya AC Milan berisikan Marco van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard. Juga kegemilangan Trio Jerman milik Inter Milan berisi Andreas Brehme, Lothar Matthaus, dan Juergen Klinsmann. Belum lagi nama-nama sekaliber Boban, Zidane, Batistuta, Ronaldo, dan masih banyak yang lainnya berkumpul dalam perang bintang Serie A.
Di level tim nasional, prestasi Italia juga tak kalah mentereng. Gelar juara dunia timnas Italia jadi yang kedua terbanyak bersama timnas Jerman dengan koleksi 4 gelar, hanya kalah dari Brazil yang sudah mengoleksi 5 gelar. Dengan segala sejarah dan kultur sepakbola yang dimiliki, Gli Azzurri selalu dianggap sebagai tim favorit dalam setiap gelaran kompetisi yang mereka ikuti. Italia jelas kekuatan sepakbola dunia.
Roda selalu berputar. Pepatah tersebut menggambarkan tentang dinamika sebuah perjalanan kehidupan. Ada masa berjaya, ada masa kejatuhan dan sepakbola Italia jadi buktinya.
Lama menjadi raja, Italia kini harus menjalani proses merangkak. Semua berawal dari skandal kasus korupsi, suap, dan pengaturan skor bertajuk Calciopoli pada 2006 yang telah mengubah citra sepakbola Italia. Potret paling kelam sepanjang sejarah persepakbolaan Negeri Pizza.
Sejak saat itu, segalanya berubah menjadi sulit. Italia tertatih di berbagai kompetisi internasional. Gelar juara dunia 2006 adalah gelar bergengsi terakhir yang diraih Gli Azzuri, hingga kembali berjaya dan menjadi kampiun di Euro 2020.
Kemenangan atas Inggris di Stadion Wembley sempat membawa angin segar. Sebagai juara Eropa, harapan selanjutnya jelas kompetisi level dunia. Kepercayaan diri mereka melambung tinggi. Mimpi-mimpi besar mereka usung. Untuk kemudian ditampar oleh kenyataan.
Timnas Italia harus absen dari gelaran Piala Dunia di dua episode beruntun. Sebelumnya, mereka absen di Rusia 2018, kini dipastikan tak akan berlaga di Qatar 2022. Terhitung sudah tiga kali Italia gagal lolos ke kompetisi sepakbola antar negara paling bergengsi di dunia.
Sebenarnya, pasukan Roberto Mancini punya kans sangat besar untuk bisa memastikan diri lolos ke Qatar lebih awal. Dengan skuad yang dihuni oleh Donnarumma, Bonucci, Verratti, dan Chiesa, mereka cukup nyaman berada di puncak klasemen sepanjang babak kualifikasi. Hingga laga kandang menghadapi Swiss tiba. Papan skor menunjukkan kedudukan imbang 1-1 saat Italia dihadiahi tendangan pinalti oleh wasit Anthony Taylor pada menit 90. Gelandang Chelsea, Jorginho, sang spesialis penendang pinalti, maju sebagai eksekutor. Jika berhasil mengeksekusi pinalti dan memenangkan pertandingan, satu tiket ke Qatar dipastikan aman.
Hidup memang penuh teka-teki. Puluhan ribu pendukung Italia di Stadion Olimpico harus tertunduk lesu usai tendangan Jorginho mengangkasa. Pertandingan berakhir imbang. Langkah Giorgio Chiellini dan kawan-kawan menemui krikil tajam. Harus memastikan nasib di pertandingan terakhir menghadapi Irlandia Utara tiga hari berselang.
Teka-teki nasib Italia masih berlanjut, mereka ditahan imbang di laga pamungkas tersebut dan harus puas jadi runner up klasemen di bawah Swiss yang di tempat lain sukses membantai Bulgaria 4 gol tanpa balas. Swiss berangkat ke Qatar. Sementara Italia harus bersabar.
Menghadapi Makedonia Utara di babak play off jadi partai hidup mati. Kalaupun menang, mereka ditunggu pemenang antara Portugal melawan Turki, sebelum akhirnya bisa bernafas lega. Sialnya, mereka kembali gagal. Adalah Aleksandar Trajkovski yang jadi aktor. Penyerang Makedonia Utara melepaskan roket penghancur Catenaccio yang dikenal kokoh. Bola meluncur ke dalam gawang melampaui jangkauan Donnarumma hingga meledakkan tangis di tribun penonton. Semakin dramatis karena tragedi itu terjadi menit 90. Italia kalah. Chiellini dan kawan-kawannya harus puas kembali jadi penonton Piala Dunia.
Itulah kehidupan. Kadang terasa lambat saat menanjak, seketika menukik tajam dengan kecepatan penuh. Kejatuhan tim nasional Italia seolah melengkapi penurunan kualitas liganya. Klub asal Italia pun sudah cukup lama puasa prestasi di level internasional. Pamor Serie A cukup jauh tertinggal dari Premier League dan La Liga. Alih-alih jadi favorit, mereka semakin sering menjadi penonton.
Seorang penyair Italia, Cesare Pavese pernah mengatakan: kita tidak mengingat hari, kita mengingat momen. Segenap pendukung Italia di penjuru bumi harus mengatur ulang ekspektasinya. Mungkin gelar juara Euro 2020 adalah yang paling maksimal yang bisa mereka banggakan hingga beberapa tahun ke depan. Hari-hari buruk pasti akan berlalu dan terlupakan, tapi momentum jelas akan terekam abadi.
Roller Coaster sepakbola Italia akan jadi catatan sejarah. Akankah sang raja kembali bertahta? Waktu akan menjawab.
Ciao, Azzuri!