THINKWAY.ID – Sekira 2-3 tahun terakhir, muncul fenomena baru pada gaya hidup dan kebiasaan anak-anak muda. Bukan hanya merujuk pada kalangan muda di kampung, tapi juga di perkotaan. Saat mereka sedang berkumpul, kerap kali telihat aktivitas tingwe alias melinting rokok sendiri dengan tengan, baik manual atau menggunakan alat. Istilah tingwe merupakan istilah slang yang lazim digunakan secara luas, berasal dari bahasa Jawa linting dewe, alias melinting (rokok) sendirian.
Fenomena tingwe bukannya tanpa sebab. Ini disinyalir merupakan akibat tak langsung dari mulai naiknya harga rokok pabrikan, akibat kebijakan pemerintah yang perlahan menaikkan tarif cukai rokok. Tahun 2021, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok dengan kenaikan rata-rata 12,5%, sementara angka untuk tahun ini adalah 12%. Untuk tahun depan, juga bakal jadi tahun yang potensial untuk kenaikan cukai. Bisa diintip dalam Rancangan Undang-Undang Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2023 dan Nota Keuangan yang disusun Agustus ini. Angka-angka yang muncul tesebut punya korelasi yang besar dengan fenomena tingwe.
Kini, toko-toko tembakau bisa ditemukan dengan cukup mudah. Menjamurnya niaga tembakau, juga merupakan konsekuensi logis dari fenomena tingwe. Tak hanya tembakau lokal atau nusantara, tapi juga muncul banyak variasi tembakau rasa-rasa (flavor), dengan target utama konsumen kalangan muda. Tembakau flavor juga merupakan jembatan bagi anak-anak muda yang dulu gemar mengkonsumsi rokok elektrik (vape) yang berniat ganti kebiasaan menjadi tingwe. Pemerintah sebenarnya juga sudah melirik regulasi cukai untuk Tembakau Iris Shag (TIS). Sederhananya, tembakau iris bisa dikenakan cukai kalau sudah dikemas dalam ukuran dan merk tertentu.
Rokok, wabil khusus kretek, adalah budaya. Ini dikukuhkan dengan riset dan penelusuran yang dilakukan oleh Mark Hanousz, mantan bankir Amerika, yang melakukan perjalanan ke Indonesia secara khusus untuk meneliti kretek. Maka lahirlah Buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigaretts (2011). Pun demikian dengan tingwe, karena cikal bakal SKT (Sigaret Kretek Tangan) adalah tingwe, seperti yang masih banyak dilakukan oleh generasi-generasi sebelum kita, di kampung-kampung yang punya tradisi tingwe kuat.
Tak ada kata lain selain adaptasi. Persolan rokok pabrikan yang semakin mahal barangkali adalah keniscayaan, yang bisa saja ditekan melalui berbagai cara. Tapi melakoni tingwe, tak berlebihan jika hal tersebut juga merupakan laku budaya. Barangkali motif pertama adalah ekonomi, tapi kalau sudah jadi kebiasaan, bisa jadi ini adalah budaya popular (pop culture) berikutnya di jaman ini. Dan, ini bisa jadi alasan yang elegan untuk menekan pemerintah, bukan cuma lewat perhitungan ekonomi, tapi juga lewat kesadaran sosial. Bahwa menggusur budaya baik sejatinya merupakan hal yang kurang terpuji.
Maka beruntunglah kita semua yang masih melestarikan budaya tingwe, karena sadar ataupun tidak, sebenarnya kita sedang melakukan protes pada kebijakan pemerintah yang kerapkali tak populer, dalam hal ini harga rokok yang semakin melambung. Tingwe adalah solusi.