THINKWAY.ID – Bek kiri Tim Nasional Indonesia, Pratama Arhan kini resmi bergabung dengan klub Jepang, Tokyo Verdy. Kehadiran Arhan ternyata langsung membawa dampak instan bagi klub yang berkompetisi di J2 League itu. Dampak instan apa yang dimaksud?
Yap! Klub yang bermarkas di Ajinomoto Stadium itu mendapat berkah dalam wujud pengikut (followers) instagram. Akun @tokyo_verdy awalnya hanya memiliki kurang dari 50 ribu pengikut. Duaaarrr … jumlah pengikut mereka meledak seketika perekrutan Arhan diumumkan secara resmi. Hingga artikel ini terbit, akun @tokyo_verdy kini sudah memiliki 387 ribu followers dan menjadi klub sepakbola dengan followers terbanyak di Jepang, mengalahkan klub Vissel Kobe yang diperkuat oleh Andres Iniesta. Luar biasa ya, Genks!
Kekuatan netizen Indonesia memang tidak perlu diragukan lagi. Percayalah, angka (387 ribu followers) tersebut masih berpotensi untuk terus bertambah seiring perjalanan karir Arhan di Tokyo kelak. Belum lagi kalau Arhan bermain bagus atau bahkan berkontribusi dengan mencetak gol. Wah, sudah terbayang betapa bergemuruhnya kolom komentar nanti.
Fenomena seperti ini bukanlah yang pertama. Kita masih ingat betul saat Egi Maulana Vikri pertama kali bergabung dengan Lechia Gdańsk. Berkah yang sama juga dirasakan oleh akun klub sepakbola asal Polandia tersebut. Membeli pemain Indonesia, bonus ratusan ribu followers media sosial. Kira-kira begitu.
Sebenarnya hal tersebut sah saja, mengingat itu adalah wujud kecintaan masyarakat kita terhadap bangsa dan negara secara umum, dan kepada sepakbola secara khusus. Ekspresi kecintaan seseorang terhadap suatu hal jelas berbeda. Dan mengikuti akun media sosial jadi salah satu wujudnya.
Namun, kecintaan itu akan menjadi kontraproduktif ketika diluapkan dengan cara yang berlebihan alias kelewat barbar. Misal, memenuhi kolom komentar dengan bendera Indonesia pada unggahan konten tentang tabel klasemen Liga Polandia. Itu jelas tidak nyambung. Atau, seperti yang belakangan ini dikeluhkan oleh warga Jepang; yakni kelakuan warganet kita yang menyerang akun klub rival dari Tokyo Verdy.
Banyak warganet kita yang secara barbar memenuhi kolom komentar di akun instagram Tokyo FC, klub yang sama-sama bermarkas di kota Tokyo. Entah apa alasan mereka, yang pasti ini sudah kelewatan. Ada beragam komentar bernada negatif, mulai dari “Tokyo is Green” (warna jersey Tokyo Verdy), hingga yang menjurus ke pornografi. Pokoknya beragam deh.
Overproud atau rasa bangga yang berlebih sudah sejak lama jadi ‘penyakit’ di masyarakat kita. Ada youtuber asing berbahasa Indonesia, langsung dipuja. Barack Obama ngomong “bakso …, sate …,” disambut tepuk tangan dan rasa bangga. Marshmello ngetwit “Om Telolet Om”, langsung viral. Ah, masih banyak contoh lainnya. Kita terlalu mudah merasa bangga pada hal-hal yang sebenarnya bukan sesuatu yang perlu dibanggakan. Terkadang berlebihan.
Padahal, segala yang berlebihan itu tidak baik. Semua harus seimbang. Jangan terlalu dalam mencinta, jangan terlarut dalam membenci. Cinta dan kebencian yang overdosis berpotensi membutakan. Begitu pula dengan rasa bangga. Secukupnya saja. Sewajarnya saja.
Overproud, dalam beberapa hal, justru menimbulkan kerugian, di saat yang bersamaan menguntungkan bagi pihak lain. Kerugiannya ya kita jadi semakin sensitif terhadap kritik. Mendengar pebalap asing mengomentari Sirkuit Mandalika, kita marah, sekalipun kritik yang diberikan objektif dan masuk akal. Kemarahan itu kadang diekspresikan dengan cara-cara yang, mohon maaf, terkadang membuat malu orang Indonesia lainnya.
Di sisi lain, sifat overproud bangsa kita justru jadi komoditas. Harus diakui, ada banyak content creator berkebangsaan asing yang membuat konten berbau Indonesia bukan karena mencintai dan menghargai budaya kita. Beberapa dari mereka hanya mencari atensi dari warganet kita. Setelah itu mencoba meraih followers, kemudian mereka akan mengkapitalisasi dalam bentuk eksposur. ‘Netizen Indo’ adalah komoditas yang pada titik tertentu bernilai ekonomis.
Microsoft pernah merilis survei Digital Civility Index (DCI) yang mengatakan bahwa warganet Indonesia adalah yang paling tidak sopan. Apa yang dilakukan oleh warganet kita? Yap! Menyerang si pembuat survei. Kolom komentar akun instagram Microsoft diserang warganet kita yang marah. Entah, mungkin rasa bangga dan kecintaannya pada bangsa dan negara terasa dinodai oleh survei Microsoft tersebut. Kemarahan itu membuat banyak jempol melesat dengan kecepatan 2,04 Mach, setara dengan kecepatan mesin jet afterburner Pesawat Concorde. Jempol-jempol tersebut seolah tak mau ketinggalan untuk turut serta ‘membela negara’. Kolom komentar akun Microsoft pun ditutup. Warganet kita merasa menang.
Sikap yang memalukan semacam itu bisa direduksi dengan menghentikan habit overproud, yang sayangnya keburu mendarah daging. Dengan begitu kita bisa lebih low profile, tidak latah merasa tersanjung kalau ada yang mention Indonesia, dan tidak lagi cepat marah kalau ada pihak yang memberi kritik. Kira-kira begitu.
Semoga Pratama Arhan tak perlu menanggung beban sosial oleh karena habit netizen indo.