THINKWAY.ID – Rokok sebagai kanvas untuk sebuah karya seni? Bisa saja. Itulah yang terjadi pada tradisi Nyethe, yang jamak dilakukan di kedai-kedai kopi di Jawa Timur, khususnya Malang, Gresik, Tulungagung, dan sekitarnya.
Nyethe berasal dari kata cethe yang berarti endapan kopi atau ampas kopi. Nyethe merujuk pada kegiatan melukis sebuah batang rokok dengan ampas kopi. Tujuannya ada yang murni sebagai karya seni, tapi sekaligus dipercaya mampu menambah aroma rasa rokok setelah dibakar. Maka tak heran, orang bisa menghabiskan sekian waktu saat melakukan Nyethe.
Asal Mula Tradisi Cethe
Walaupun agak sulit ditelusuri, kebiasaan Nyethe disepakati muncul sekira era 1980an, digagas secara tak sengaja oleh para petani dari Tulungagung. Kala itu, para petani tersebut mengisi jeda waktu istirahat saat beraktivitas di sawah atau ladang dengan ngobrol ngalor ngidul dan membuat garis-garis berpola sederhana pada batang rokoknya setelah menikmati kopi. Masyarakat Jawa Timur memang dikenal gemar melakoni tradisi cangkruk, alias kumpul-kumpul.
Nyete juga dilakukan untuk menghilangkan bosan. Tradisi ini dipercaya mampu mempererat tali persaudaraan masyarakat Tulungagung agar tetap guyub rukun. Mulai dari Tulungangung, tradisi dan budaya cethe kemudian menyebar ke daerah pesisir lain.
Versi sejarah lain mengatakan, kebiasaan Nyethe sudah ada sejak 1930-an di Rembang dengan nama Kopi Sedulit atau Kopi Lelet. Kini, istilah Kopi Lelet dipakai di Rembang, merujuk pada aktivitas serupa Kopi Cethe.
Cethe juga dapat dikaitkan dengan sejarah batik yang panjang dan tradisi ngerawit, sebutan untuk motif batik yang penuh, rumit, serta sulit, namun kuat sekaligus indah. Di sinilah akhirnya sebuah produk budaya batik, melahirkan produk budaya lain yakni Cethe sebagai bentuk reka cipta.
Dikutip dari Radar Depok, menurut Sejarawan Universitas Indonesia (UI) JJ Rizal, Cethe sebagai ekpresi seni akar rumput merupakan salah satu bentuk budaya yang menggambarkan masyarakat Indonesia sebagai Homo Ludens, di mana manusia tak selalu harus bekerja, namun perlu menyediakan waktu untuk bersantai atau bermain.
Begitu kuatnya tradisi Cethe, sampai membuat Tulungagung mendapat julukan Kota Cethe atau Kota Seribu Warung Kopi, saking banyaknya warung kopi yang tersebar di 19 kecamatan. Pelakunya bahkan sudah dilakoni oleh kalangan muda, walaupun kaum tua masih banyak yang melakukan aktivitas yang mengasyikkan ini.
Teknis Nyethe
Saat Nyethe, tak ada syarat khusus untuk material yang digunakan. Untuk rokok, bisa yang berbentuk kretek, dan kretek dengan filter. Bahkan rokok putih dengan diameter yang umumnya lebih kecil. Untuk ampas kopi, biasanya menggunakan ampas kopi yang halus, baik itu jenis arabika atau robusta.
Untuk menyerap air, biasanya memanfaatkan tisu kertas. Ampas kopi umumnya ditaruh di piring kecil (lepek), dicampur dengan susu kental manis agar gampang melekat pada kertas rokok sebagai media lukis.
Alat untuk meleletkan ampas kopi umumnya dari potongan lidi pendek, batang korek api, atau tusuk gigi, karena memanfaatkan ujung runcing benda mungil ini. Ada juga yang menggunakan ujung sendok kopi karena ukurannya yang kecil.
Untuk kreativitas, sangat relatif, tergantung si pelukis Cethe. Hasil lukisan pada rokok umumnya berbentuk sulur, tribal, batik, geometri, abjad atau tulisan, dan motif bebas lainnya. Nyethe bisa juga di sebut batik rokok.
Bisa dikatakan, Nyethe adalah sebuah laku kesenian yang universal. Orang-orang yang melakukan Nyethe tak melulu harus wajib doyan kopi atau rokok, alias semua orang mampu melakukannya. Soal dihisap atau tidak setelah jadi, itu urusan belakangan. Rupanya unsur estetika lebih kental daripada motif fungsinya.
Cethe adalah perkawinan dua warisan budaya Indonesia yakni kretek berupa olahan tembakau dan cengkeh dalam bentuk rokok, dan seni batik dalam guratan tertentu pada sebatang rokok.