Thinkway Logo
Remy Sylado dan Warisan Puisi Mbeling pada Perjalanan Kesusastraan Indonesia (Sumber: Tempo.co)

Remy Sylado dan Warisan Puisi Mbeling pada Perjalanan Kesusastraan Indonesia

THINKWAY.ID – Remy Sylado, pelopor puisi mbeling, tutup usia pada Senin (12/22) di usia 77 tahun. Sastrawan serba bisa ini adalah orang di balik majalah Aktuil, produk jurnalisme pop culture atau budaya populer Indonesia era 70an.

Saat awal kemunculannya, Remy Sylado dianggap sebagai “seniman gila”, karena ide dan gagasannya dianggap malompati zaman, menggugah, inspiratif, dan kadang kontroversial. Remy seolah membangkitkan kembali masa kelam kesusateraan Indonesia yang terjadi sekira tahun 1960-an, dan kembali menyemarakkan kesenian dan kesusastraan Indonesia.

Majalah Aktuil terbit kali pertama pada 1967, fokus pada music dan sastra. Remy Sylado dianggap sebagai salah satu orang yang membidani kelahiran majalah ini, bersama dengan Denny Sabri Gandanegara. Majalah ini hingga kini dianggap mampu menumbuhkan semangat anak-anak muda Indonesia pada bidang musik dan kesenian era 70an, dua hal yang kerapkali jadi biang budaya populer.

Remy Sylado dan Puisi Mbeling

Kala itu, Aktuil menjadi majalah musik yang paling diikuti. Begitu juga di bidang sastra, Remy menolak kemapanan sastrawan Horison dengan membuka ruang puisi Mbeling. Pria bernama asli Japi Panda Abdiel Tambajong ini turut menumbuhkan kepenulisan puisi yang aneh dan melawan arus, tapi sekaligus menarik. Puisi-puisi mbeling karya Remy dimuat dalam rubrik khusus Majalah Aktuil, dengan sasaran pembaca masyarakat sastra yang bergairah pada berbagai eksperimentasi dan kebaruan.

Mbeling berasal dari bahasa Jawa yang berarti “susah diatur, nakal, memberontak”. Puisi Mbeling adalah puisi yang keluar dari pakem yang sudah ada. Puisi ini adalah bentuk puisi yang tidak mengikuti aturan-aturan pada penulisan puisi pada umumnya.

Awal istilah puisi mbeling berawal dari nama kolom khusus pada majalah Aktuil. Kolom ini dihadirkan dengan tujuan untuk menampung kreativitas anak muda.

Puisi mbeling tak hanya bertujuan sebagai puisi dengan genre black comedy (puisi getir), tapi kalau ditelaah, dibaliknya tersimpan dengan halus kepahitan pada banyak ketidakadilan pada masyarakat Indonesia pada masa itu.

Puisi mbeling adalah perlawanan dari anak-anak muda waktu itu karena gerah dengan aturan-aturan estetika puisi yang “njelimet” dan “ndakik-ndakik”. Sehingga anak-anak muda mulai membuat sajak dengan diksi main-main, tanpa aturan estetika, dan terkadang berisi nyinyiran terhadap puisi-puisi yang ada waktu itu.

Majalah yang juga kerapkali menapilkan puisi, majalah Horison, paa masa itu dianggap terlampau kaku. Puisi yang dimuat di Horison kelewat mengikuti pakem. Majalah Aktil dengan kolom puisi mbeling-nya hadir sebagai penyeimbang. Puisi-puisi aneh banyak hadir dan mampu “menggoyang” tokoh-tokoh sastra yang sudah mapan. Menurut Sapardi Djo Damono, puisi mbeling telah memberikan sumbangsih berharga pada keanekawarnaan puisi Indonesia.

Di majalah Aktuil, Remy berperan sebegai pengasuh kolom khusus dengan nama serupa. Ia adalah pengasuh pertama kolom ini, sekaligus menjadi yang paling kondang. Uniknya, ia juga sering menulis namanya dengan nama alias 23761 (re-mi-si-la-do).

Remy tak hanya asal berpendapat sebagai pengasuh pada kolom yang dimaksud. Ini ia perlihatkan lewat gaya khasnya dalam penyampaian tanggapan dan alasan, menanggapi sebuah sajak yang dimuat. Remy menekankan, bahwa bersikap lugu dan apa adanya dalam penulisan sajak adalah normal, karena dengan demikian si penulis sajak lebih jujur dan apa adanya.

Salah satu ciri utama puisi mneling adalah kelakar, dan kritik bahkan ejekan terhadap penyair arus utama. Kata-kata dipemainkan, merembet pada arti, bunti, dan tipografi, untuk mencapai efek satir. Seringkali, puisi mbeling disebut sebagai “puisi yang mengkritik puisi” (Taufiq Ismail).

Puisi mbeling, dibalik kebengalannya, diakui punya dampak positif pada perjalanan kesusatraan Indonesia. Diantaranya, mampu mencairkan dikotomi “penyair mapan” dan “penyair tidak mapan”, “penyair pusat” dan “penyair daerah”, dan semacamnya. Dikotomi ini dianggap tidak baik, karena bisa membekukan proses kreatif perpuisian Indonesia.

Di samping itu, gerakan puisi mbeling dianggap membuka terhadap pemakaian bahasa yang diambil dari berbagai unsur ke-Indonesiaan, seperti bahasa daerah dan bahkan mengambil unsur serapan bahasa asing. Landasan bersastra dan ciri-ciri puisi mbeling pada perkembangan perpuisian Indonesia yang demikian itulah memberikan kontribusi terhadap lahirnya berbagai variasi puisi kritik sosial.

Walaupun dalam bidang sastra, gerakan mbeling lewat saja-sajak puisi mbeling merupakan representasi perlawanan terhadap rezim Orde Baru yang dipelopori oleh Remy Sylado. Puisi mbeling walaupun terkesan main-main, tetap punya proses kreatif dalam perjalanannya, karena dimulai dari pengalaman sekitar, kondisi tekini, dan pebgalaman batin si penulis puisi.

Selamat jalan, Remy Sylado.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.