THINKWAY.ID – Bergulirnya polemik yang mengelompokkan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkhol dalam draf RUU Kesehatan Omnibus Law ternyata menyita perhatian sebagian besar masyarakat. Bagaimana bisa tembakau dan produk hasil tembakau yang memiliki kontribusi besar bagi negara harus disamakan/disejajarkan dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkhol yang jelas-jelas barang ilegal.
Berbagai upaya didilakukan oleh organisasi masyarakat, petani, buruh, pekerja kreatif untuk mendorong dan mengawal agar pasal – pasal yang terkait dengan tembakau dihapus dan dikembalikan pada undang-undang yang sebelumnya berlaku. Upaya yang dilakukan mulai dari mengirimkan surat kepada Presiden RI Joko Widodo, melakukan aksi damai, doa bersama hingga unjuk rasa di depan gedung DPR RI.
Bahkan wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR RI pun ikut bersuara, mengutip pernyataan Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo dari laman sindonews.com, “(Penyetaraan) Itu tidak tepat, itu diskriminasi. Tembakau bukan narkotika, berarti ada penyelundupan pasal yang akan mematikan industri tembakau sebagai salah satu sumber penerimaan negara terbesar,” katanya.
Firman menambahkan, diferensiasi zat adiktif ini Mahkamah Konstitusi sejatinya juga telah menegaskan bahwa adiksi rokok berbeda dengan narkotika dan psikotropika. Ada tiga putusan MK yang menguatkan hal ini: Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009, Putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010, dan Putusan MK No. 71/PUU-XI/2013. “Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sudah final dan mengikat. Narkotika dan psikotropika ini sudah ada Undang-Undangnya tersendiri,” katanya.
Nikotin yang terdapat dalam tembakau merupakan zat adiktif yang legal, serupa dengan kafein pada kopi, teh, dan minuman energi. Sebaliknya, narkotika dan psikotropika sudah diatur dan digolongkan secara khusus melalui UU Narkotika. Sebagai contoh, narkotika Golongan I seperti kokain, ganja, dan lainnya dinyatakan ilegal untuk diproduksi dan dikonsumsi. Narkotika ialah zat yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, hingga mengurangi rasa nyeri, dan sejumlah kondisi khusus.
Sebagai catatan, UU 36/2009 yang merupakan undang-undang kesehatan yang berlaku saat ini, bahkan tidak mencantumkan alkohol, terlebih narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif.
Sebelumnya, Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Aris Arif Mundayat menjelaskan RUU Kesehatan yang mengelompokkan tembakau serupa dengan narkotika dan psikotropika justru akan memangkas hak-hak konstitusional para pelaku usaha tembakau sampai para konsumen.
“Konsumen dan produsen tembakau akan tidak terlindungi secara konstitusional. Bahkan petani tembakau bisa kehilangan komoditas tembakau jika dipersepsikan sama dengan narkoba oleh aparat hukum. Perlindungan konstitusional mestinya harus jelas dan tegas agar petani tembakau tidak dirugikan,” ungkap Aris.
Pengaturan Terpisah
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bersama (PKB), Nihayatul Wafiroh mendukung penuh pengaturan tembakau dan produk tembakau secara terpisah dengan produk narkotika, psikotropika, beserta zat adiktif lainnya. Dia jelaskan seharusnya pengaturan ini perlu mempertimbangkan segenap aspek yang melingkupinya. Belum lagi, tembakau menjadi komoditas utama yang mendukung perekonomian Indonesia.
“Tentang peraturan tembakau dan produk tembakau (rokok), Fraksi PKB mendukung penuh peraturan secara terpisah dengan peraturan mengenai alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Pengaturan tembakau dan produk tembakau harus dilakukan secara terpisah. Mempertimbangkan segenap aspek yang melingkupinya. Salah satunya, produk tembakau dan tembakau ini telah membuktikan memberikan dampak signifikan kepada masyarakat dalam industri perekonomian nasional,” papar Nihayatul dalam rapat bersama RUU Kesehatan, Senin (19/6).
Selama ini, industri produk tembakau, dia katakan industri tembakau telah menyerap tenaga kerja secara keseluruhan sekitar 5 juta pekerja. Di mana mayoritasnya ialah tenaga kerja perempuan. Sehingga pengaturan dapat berdampak pada nasib kehidupan para pekerja yang terlibat.
“Industri tembakau menyerap tenaga kerja secara signifikan, termasuk mayoritas adalah pekerja perempuan. Secara keseluruhan sekitar 5 juta tenaga kerja. Dengan demikian, produk tembakau dan tembakau memberikan kontribusi kepada masyarakat, petani, dan tenaga kerja yang terlibat. Selain itu, tembakau jga memberikan kontribusi yang signifikan kepada anggaran pelayanan BPJS Kesehatan, ” ujar dia.
Sedangkan, secara substansi, pengaturan tembakau dan produk tembakau yang menyamakan dengan barang ilegal jelas menyalahi perundangan. Terlebih tembakau merupakan komoditas strategis perkebunan dalam Undang-Undang No.39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.