Adakah yang lebih nikmat selain ngopi, udud, dan jazz?
Kurang lebih berjarak 8,5 kilometer dari pusat Kota Semarang, menuju daerah Sampangan. Tepatnya di Jalan Dewi Sartika Raya Nomor 5 Semarang, bolehlah kiranya sore itu saya coba singgah di sebuah tempat kopi. Seratus meter setelah melewati ‘Kretek Wesi’, terdapat gang masuk ke arah kanan.
Setelah masuk gang, rumah pertama sebelah kanan tampak digunakan sebagai kafe yang lumayan asyik untuk sekadar nongkrong. Tempatnya tidak terlalu luas, hanya mirip teras samping rumah yang didesain ruangan semi out door. Dilengkapi kursi-kursi klasik terbuat dari kayu dan sejumlah benda seni instalasi menghiasi dinding.
Dilihat dari namanya, terkesan nginggris yakni Knk Koffee Resources dan Kafe Lost In Coffee. Sebuah nama yang agak kurang familiar bagi lidah Jawa yang medok seperti saya. Setelah mencari tempat duduk dan mengamati, saya melihat sepertinya warung kopi ini tidak sederhana. Terdapat ruangan mini dilengkapi perangkat mesin penggiling kopi. Di dinding terdapat berbagai toples kaca berisi biji kopi dari berbagai daerah di Indonesia. Di luar ruangan terdapat mesin roasting yang cukup besar.
Pembeli ditawarkan untuk memilih kopi apa, sesuai dengan keterangan tulisan yang tertempel di toples kaca. Saya coba pilih Kopi Papua yang masih terbilang asing. Prosesnya memang agak lama dibanding warung kopi biasa, biji kopi terlebih dahulu digiling menggunakan mesin roasting sebelum direbus dan proses penyaringan.
Uniknya, sang pemilik, Agung Kurniawan, bersedia menjelaskan kepada setiap pengunjung atau pelanggan mengenai seluk beluk teknik pengolahan kopi. Sehingga warung ini lebih mirip laboratorium kopi untuk edukasi. Tak kurang ada 25 jenis kopi yang berasal dari Sabang sampai Merauke dalam bentuk biji.
Di tempat tersebut dilakukan proses pengolahan menggunakan peralatan mesin penggilingan khusus yang disebut proses roasting. Ada banyak hal menarik, mulai dari pengaturan level pemanggangan, pengaturan suhu panas, dan lain-lain. Proses ini, kata dia, yang akan menghasilkan beraneka ragam varian rasa kopi.
Sejak dibuka 2013 silam, rupanya Agung cukup berhasil mencuri perhatian para pebisnis kopi di Kota Semarang. “Sesuai istilah lost in coffee, memang awalnya tidak muluk-muluk, yakni hanya ingin memiliki tempat nongkrong. Ternyata banyak yang beli. Sampai sekarang saya menjadi suplayer kopi untuk kafe-kafe kopi di Semarang. Tempat ini sebagai tempat niongkrong, sekaligus sebagai studio untuk pelatihan dan edukasi bagi costumer yang tertarik memulai bisnis kopi,” kata dia.
Untuk mendapatkan kopi, ia bermitra dengan para petani jaringannya, seperti dari Temanggung, Wonosobo, Gunung Kelir dan kota-kota lain. Bahkan saat ini, per-bulan, kebutuhan pasokan seluruhnya bisa mencapai 500 kilogram.
Saya mencicipi secangkir kopi roasting biji dari Papua. Ini kopi paling jahat, pahit dan menghantam. Apalagi ditambah hisapan kretek dan jazz mengalun pelan membuat matahari cepat tenggelam.
(Ratna Dewi Amarawati)