THINKWAY.ID – Terdapat beberapa statement dan berita yang terkesan menyudutkan industri rokok. Kurang lebih disebutkan bahwa industri rokok adalah salah satu yang dianggap sebagai sektor industri jahat.
Industri rokok dianggap berkontribusi pada angka kematian, perluasan penebangan hutan, dan polusi sampah. Ada pihak-pihak yang menganggap bahwa pekerjaan di sektor tembakau adalah sektor yang tidak tepat, terlebih lagi dikaitkan dengan etika.
Anggapan tersebut kurang objektif karena hanya merepresentasikan industri pertembakauan luar negeri. Yang mana, ekosistem pertembakauan Indonesia sangat kompleks, unik dan berbeda dengan negara lain.
Industri rokok di Indonesia mampu menghidupi banyak sektor pekerjaan, mulai dari petani, buruh, pabrik rokok, pedagang retail, hingga industri kreatif. Multiplier effect dari sektor pertembakauan berkontribusi terhadap perekonomian negara, dan tentu saja kesejahteraan masyarakat khususnya pelaku industri tembakau.
Stigma Jahat pada Industri Rokok
Tren upaya melekatkan cap jahat terhadap industri tembakau dimulai pada akhir 1980-an atau awal 1990-an, ketika U.S. Food and Drug Administration (FDA) menyetujui beredarnya koyok nikotin dan ketika dana dari industri farmasi mulai menggelontor kepada gerakan anti-tembakau (Buku Nicotine War: Wanda Hamilton).
Peneliti tembakau dari Indonesia Berdikari, Puthut EA, menyebutkan, total dari hulu sampai hilir, industri rokok melibatkan sekitar 30 juta lebih orang orang. Industri rokok memberi nilai tambah tinggi serta dinikmati oleh masyarakat dan negara, jika dibandingkan dengan industri lain seperti barang tambang, CPO, karet, dan kakao.
Kalau kampanye tak objektif tersebut terus digulirkan, bisa berakibat pada menguatnya tekanan di sektor industri hasil tembakau, sehingga industri rokok akan semakin berat dan serapan tembakau nasional akan semakin rendah.
Indonesia saat ini belum menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yakni ratifikasi kerangka kerja pengendalian tembakau yang dirancang oleh WHO. Ini karena, persoalan industri tembakau begitu multi aspek. Kehadiran FCTC dinilai dapat menyebabkan timbulnya kartel-kartel pertembakauan, karena tidak ditujukan untuk mengurangi jumlah perokok di suatu negara. Dalam prolog FCTC, disebutkan tujuan ratifikasi adalah untuk mengendalikan produksi tembakau, mulai dari hulu atau pertanian tembakau, sampai dengan produk jadi, dalam hal ini rokok.
Dalam sesi Space Twitter yang diinisiasi oleh akun @rokok_indonesia pada 15 Maret 2022 dengan tema Sejarah Kretek dan Pertanian Tembakau di Madura, menghadirkan salah satu speaker salah satunya Bernando J. Sujibto (petani tembakau dan peniaga tembakau). Ia bercerita, bahwa tuduhan soal pekerja anak pada insdustri tembakau sebaiknya dilihat dengan lebih objektif.
Di daerah pertanian tembakau, anak-anak yang membantu orang tuanya di ladang tembakau adalah hal yang lumrah. Itupun juga tanpa paksaan, karena anak-anak tetap punya kewajiban sekolah. Saat pulang sekolah atau libur, anak-anak justru banyak yang suka ke kebun tembakau karena mereka membantu orang tuanya sambil bermain.
Ini tak jarang, meninggalkan memori yang membekas pada anak-anak tersebut. Anak-anak juga mendapatkan upah, bukan gaji professional. Hal ini tak bisa dikategorikan sebagai pekerja anak, tapi lebih ke relasi tradisi.