THINKWAY.ID – Bicara KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tak bisa dilepaskan dari peran besarnya untuk masyarakat Tionghoa. Dikenal sebagai sosok humanis, beliau punya reputasi terpuji tak hanya untuk umat Islam, tapi juga untuk pemeluk agama dan kepercayaan lain.
Saat Imlek tiba, membicarakan Gus Dur dan jasa-jasanya menjadi hal yang lumrah, mengingat apa yang dilakukannya belum pernah dilakukan oleh Presiden-presiden sebelumnya. Ia menyampaikan pesan bahwa Indonesia adalah negara plural, siapa saja yang punya sisi humanis boleh tinggal di negara ini.
Gus Dur lahir pada 7 September 1940 di Jombang, Jawa Timur dengan nama asli Abdurrahman Addakhil yang bermakna “Sang Penakluk”. Kata Addakhil kurang dikenal, sehingga diganti dengan “Wahid”. Ia adalah putra sulung KH Wahid Hasyim dan cucu KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Dari pihak Ibu, Ia adalah cucu KH Bisri Sansuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, Jawa Timur.
Tercatat, Gus Dur pernah mondok di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah dan Pondok Pesantren Tambak Beras di Jombang jadi dua pesantren yang juga pernah jadi tempatnya menimba ilmu. Pada usia 22 tahun, ia sudah menginjak tanah suci, Makkah.
Pendidikan tinggi di luar Indonesia yang pernah Gus Dur tempuh yaitu Al-Azhar University di Mesir, dan Universitas Baghdad, Irak, Ia juga pernah berkuliah di Eropa, di antaranya di Jerman, Prancis, dan Belanda (Universitas Leiden). Uniknya, ia tak menamatkan kuliah saat belajar di universitas-universitas tersebut. Saat di Belanda inilah, ia mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di daratan Eropa. Ia kembali ke Indonesia pada 1971.
Selanjutnya Gus Dur menjadi kontributor utama di majalah Prisma besutan LP3ES. Sebagai jurnalis di Kompas dan Tempo, beliau mengembangkan reputasinya sebagai komentator sosial. Sekira 1984, baru benar-benar berkiprah di NU sebagai Ketua Umum Tanfidziyah dan menjabat hingga 3 periode. Pada masa ia memimpin NU, Ia berhasil mereformasi sistem pendidikan dan meningkatkan sistem pendidikan pesantren pesantren hingga dapat menandingi sekolah sekuler.
Pada 1999, Gus Dur terpilih secara demokratis sebagai Presiden ke-4 RI dan menjabat hingga Mei 2001.
Persona Gus Dur
Tokoh yang dikenal dengan kata-kata “Gitu aja kok repot” ini digembleng untuk kuat dalam bacaan sedari kecil. Bahan bacaannya luas, tak hanya buku, namun meliputi majalah, koran, dan multi genre. Maka tak heran, pengetahuannya sangat luas.
Gus Dur dikenal sebagai sosok humanis sekaligus humoris. Ia merupakan guru bangsa, reformis, cendekiawan, dan pimpinan politik. Pasang surut dan perjalanan politiknya membuatnya dikenal berseberangan dengan Presiden Soeharto, terutama saat Juli 1997 ketika krisis moneter melanda Indonesia yang berlanjut hinga 1998 sampai era reformasi.
Sebagai presiden tepatnya tahun 1999, ia berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua soal penggunaan nama Papua sebagai ganti nama lama Irian Jaya sebagai tanda bahwa pemerintah serius memperhatikan Indonesia Timur. Setahun setelahnya, pemerintahannya berhasil bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Kebijakan Gus Dur yang paling menonjol yaitu pemisahan TNI dengan Polri, pembubaran Departemen Penerangan karena sebelumnya dijadikan corong oleh pemerintahan Soeharto, pembubaran Departeman Sosial karena korup, dan menerapkan otonomi daerah.
Gus Dur dikenal gemar membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Ia juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun, akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibacanya tak hanya cerita-cerita misalnya silat dan fiksi, tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara. Gus Dur juga menguasai 6 bahasa asing, mulai dari bahasa Arab, Inggris, Spanyol, Jerman, Belanda, dan Prancis.
Gus Dur juga senang bermain bola, catur dan musik. Suatu waktu, ia Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Gus Dur juga hobi menonton film layar lebar. Ia dipercaya sebagai ketua juri Festival Film Indonesia edisi 1986-1987.
Julukan Sang Bapak Tionghoa
Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang mengekang masyarakat Tionghoa untuk beribadah dan menyelenggarakan tradisi mereka. Terdapat dua aturan utama yang mengekang kebebasan masyarakat Tionghoa. Pertama, ibadah yang berpusat pada leluhur harus dilakukan secara internal dalam keluarga. Kedua, perayaan pesta agama dan adat istiadat tak boleh mencolok di depan umum.
Upaya Gus Dur menghilangkan diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa dimulai sejak 17 Januari 2000. Beliau mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 dengan tiga poin utama. Pertama, mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Kedua, semua ketentuan pelaksanaan yang diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dinyatakan tidak berlaku. Ketiga, penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa perlu izin khusus.
Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) jadi hari libur fakultatif. Larangan penggunaan huruf Tionghoa juga dicabut. Sejak saat itu, pertunjukan budaya Liong dan Barongsai menjadi hal yang lumrah dan tidak tabu.
Tampaknya, ini tak lepas dari darah Tionghoa yang mengalir pada diri Gus Dur. Beliau secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.
Pada 10 Maret 2004, beliau ditahbiskan sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa di Semarang, di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok yang merupakan sebuah kawasan Pecinan di Semarang.
Atas kebijakan tesebut dan beberapa langkah terpuji lain, Gus Dur mendapatkan penghargaan dari Mebal Valor dari Los Angeles, Amerika Serikat karena dinilai berani membela kaum minoritas. Pada 1993, menerima Ramon Magsyaysay Award, sebuah penghargan prestisius untuk kategori kepemimpinan sosial.
Telah banyak karya tulis erutama buku yang sudah ditulis olehnya yang umumnya berisi soal kemanusiaan, sosial, dan Islam. Tercatat, Gus Dur memiliki 10 gelar Doktor Honoris Causa.
Gus Dur meninggal dunia pada 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada usia 69 tahun. Pada nisan makamnya di Jombang, tertulis “Here Rest a Humanist”, seolah menyarikan apa yang telah dilakukan sepanjang hidupnya lewat pemikiran, gagasan, tulisan, dan pergerakan yang ia lakukan. Hingga kini, makam beliau masih terus ramai diziarahi untuk ngalap berkah, seolah-olah ia masih hidup. Selepas kepergian Gus Dur, ia seolah tak pernah absen meneteskan dan mengguyur inspirasi untuk kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.