THINKWAY.ID – Kebaya. Sejenis pakaian atasan tradisional dengan karakteristik utama semi terbuka pada bagian depan, terbuat dari kain ringan, dihiasi dengan sulaman, yang biasa dikenakan oleh para perempuan rumpun Melayu di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.
Secara etimologi, “kebaya” diyakini berasal dari kata serapan Arab qaba yang berarti “pakaian”. Istilah ini bisa jadi berhubungan dengan kata Arab abaya yang berarti garmen longgar atau jubah. Istilah ini dikenalkan ke Nusantara melalui kata serapan dari bahasa Portugis, cabaya.
Dari bentuk fisiknya, beberapa sumber menyatakan bahwa kebaya berasal dari busana Muslim yang dinamai sebagai qaba, habaya, al akibiya al turkiyya dan djubba. Klaim bahwa kebaya berasal dari dunia Arab sangat mungkin, karena dalam catatan sejarah, Islam merambah ke Dunia Melayu pada abad ke-15. Seiring dengan itu, tejadi akulturasi budaya. Perempuan-perempuan Melayu mulai mengikuti norma busana Islami. Dalam teori lain, kebaya juga diyakini berasal dari China, lalu menyebar ke Malaka, Sumatra, Jawa, Bali, dan Sulawesi setelah migrasi warga Tiongkok ke Asia Tenggara.
Di Nusantara, bentuk paling awal kebaya diperkirakan berasal dari kalangan istana Kerajaan Majapahit. Kebaya lazim dikenakan para permaisuri dan selir raja, biasanya dipadukan dengan kemben, kain pembebat dan penutup dada perempuan bangsawan, dan stagen, sabuk kain panjang yang dililitkan pada perut.
Saat masuknya Islam selama periode terakhir Kerajaan Majapahit, tejadi penyesuaian busana Jawa dengan agama Islam. Blus yang dirancang khusus dikenakan setelah kemben untuk menutupi bagian belakang, bahu dan lengan, agar perempuan istana terlihat lebih sopan. Di daerah lain, kebaya mulai dipadukan dengan kain lokal tradisional daerah setempat seperti, songket, tenun, ulos, dan lainnya.
Abad ke-19, kebaya sudah digunakan semua kelas sosial, baik perempuan Jawa maupun peranakan Belanda. Bahkan, kebaya sempat jadi pakaian wajib bagi perempuan Belanda yang ingin ke Indonesia. Pemakaian kebaya kemudian diadopsi masyarakat umum. Sisa-sisanya hingga kini masih ditemui hari ini di desa-desa pertanian di Jawa. Para petani wanita masih menggunakan kebaya sederhana, walaupun lebih banyak dikenakan wanita-wanita berusia lanjut.
Tokoh-tokoh nasional mulai mengenakan kebaya, dengan ikon terpopuler Raden Ajeng Kartini. Ratna Sari Dewi Soekarno, salah satu istri Presiden Soekarno juga tertangkap kamera dengan anggunnya mengenakan kebaya, hampir bersamaan dengan penetapan kebaya sebagai salah satu busana nasional oleh Presiden Soekarno. Istri Presiden Soeharto, Tien Soeharto, juga turut mempopulerkan kebaya kutu baru dengan ciri khas sampiran selendang kecil di pundak. Pesohor perempuan modern juga tak enggan untuk memakai kebaya, seperti Dian Sastrowardoyo. Bahkan sudah jadi kesepakatan umum, peringatan Hari Kartini dilakukan dengan menggunakan kebaya.
Kebaya di Indonesia kemudian berkembang tak hanya didominasi budaya Jawa. Muncul beberapa jenis kebaya yang populer. Misalnya kebaya Kartini, kebaya Jawa dengan ciri potongan leher V, kebaya Encim sebagai perpaduan kebaya Melayu dan Tiongkok, kebaya Bali dengan tambahan obi yang melilit pinggang, kebaya Kutu dengan tambahan kain untuk menghubungkan sisi kiri dan kanan kebaya bagian dada depan, serta kebaya muslim dengan ciri yang lebih tertutup karena dipadukan dengan jilbab.
Kebaya kini sering digunakan pada pesta perayaan tertentu, seperti pernikahan, perayaan acara tradisional, hingga perayaan kelulusan sekolah dan wisuda sarjana universitas. Kebaya juga diadopsi sebagai seragam resmi pramugari maskapai-maskapai ternama Asia Tenggara.
Makna Khusus dan Filsofi Kebaya
Sebelum era modern dengan salah satu jargon dan kesadaran soal emansipasi gender, kebaya telah mengambil peran tersebut di masa lalu, walaupun dalam simbol fisik. Kebaya bukan hanya sekadar pakaian biasa, tak hanya sebagai sebatas pakaian penutup aurat. Kebaya menyimpan makna khusus dan memiliki nilai-nilai kehidupan. Bentuknya yang sederhana merupakan wujud kesederhanaan masyarakat Indonesia, khususnya kaum perempuan.
Perempuan yang berkebaya terkesan anggun dan memancarkan aura kewanitaannya. Dalam ukoro (istilah) Jawa, wanita adalah wani ing tata, bermakna perempuan yang paham tata krama.
Kebaya mengandung nilai simbol kehalusan, kemandirian, dan sikap lembut wanita. Gerakan terbatas yang diakibatkan dari penggunaan kebaya yang melilit tubuh perempuan, membuat pergerakan pemakainya menjadi terbatas dan tak leluasa untuk bergerak cepat. Secara filosofis, pemakai kebaya identik dengan pribadi yang lemah gemulai, namun tetap idealis, karena si pemakai tak terpaksa memakai kebaya tersebut.
Potongan kebaya yang selalu mengikuti bentuk tubuh perempuan, bisa dimaknai bahwa pemakainya harus bisa menyesuaikan diri dalam berbagai suasana, keadaan dan budaya, secara lemah lembut dan luwes. Selain itu, pemakai kebaya diharapkan mampu menjaga diri sendiri di manapun mereka berpijak.
Stagen, sebagai pelengkap penting kebaya yang berfungsi sebagai ikat pinggang menyimbolkan usus yang panjang. Dalam istilah dan filosofi Jawa, dowo ususe berarti panjang ususnya, yang punya makna kesabaran.
Kebaya modern juga menyiratkan makna khusus. Modernisasi model kebaya modern yang mempertahankan unsur lawas, menyimbolkan perempuan Indonesia yang paham tata krama, namun tetap bebas berekspresi dan mengembangkan diri sesuai keinginannya tanpa keluar dari pakem budaya Indonesia yang adi luhung. Variasi yang bermacam-macam pada kebaya modern, bisa dimaknai bahwa cara pandang era modern perempuan Indonesia, tetap bisa dinamis tanpa meninggalkan unsur kearifan lokal dan karakter asli perempuan Indonesia.