THINKWAY.ID – Untuk dua tahun ke depan, harga rokok untuk hampir semua kategori dipastikan naik setelah pemerintah kembali resmi menaikkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dengan besaran rata-rata 10 persen. Kategori Sigaret Kretek Mesin (SKM) sekira 11,5-11,75 persen, Sigaret Putih Mesin (SPM) 11-12 persen, dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) sebesar 5 persen.
Karena hal ini, konsumen rokok secara organik mencari strategi lain agar bisa tetap ngebul. Beragam cara dilakukan untuk menyiasati pengeluaran untuk rokok. Bisa lewat linting dhewe (tingwe), subtitusi atau bergeser ke produk yang lebih murah, serta mengurangi atau bahkan berhenti merokok sekalian.
Untuk masyarakat yang tetap “istiqomah” merokok, produk olahan tembakau ini bisa dikategorikan secara subyektif sebagai barang pokok, dalam pengertian yang lebih luas dari sekadar ketergantungan. Itulah sebabnya kini marak muncul para peniaga tembakau, dan munculnya rokok murah, khususnya kretek.
Laporan Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) per 2022 menunjukan, 42 persen dari perokok persisten saat ini mengatakan akan mengurangi pengeluaran untuk merokok dan 24% dari mereka beralih ke rokok yang lebih murah.
Sementara itu, riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menunjukkan kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah masih melanjutkan untuk merokok saat pandemi meskipun kesulitan secara ekonomi. Mereka cenderung beralih ke rokok yang lebih murah. Riset ini sejalan dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Kini, banyak perokok yang mencari rokok murah.
Kemunculan Kretek Murah
Terhitung sejak pandemi Covid-19 sekitar Maret 2020 hingga saat ini atau 2,5 tahun terakhir, puluhan produk rokok murah muncul di pasaran. Tak hanya pemain kecil dari daerah, rokok murah juga dikeluarkan pabrikan the big three Tanah Air yakni PT HM Sampoerna, PT Gudang Garam, dan PT Djarum.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia setelah China dan India. Data tahun 2014 yang dirilis Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menyebutkan, dari 350 miliar batang rokok, sekitar 17%-nya atau sekitar 60 miliar masuk dalam kategori batang rokok murah, dalam pengertian khusus kategori SKT yang dibanderol Rp. 2.000 hingga Rp. 10.000 per bungkus isi 12 batang. Jumlah itu belum termasuk rokok selundupan atau rokok dengan cukai palsu alias ilegal. Kemungkinan besar, angka rokok yang beredar di Indonesia saat ini bisa di atas 350 miliar batang.
Tren menjamurnya pabrikan di golongan rendah juga dapat terlihat dari fenomena perusahaan besar yang turun golongan dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu motif perusahaan rokok turun golongan adalah untuk meraih besaran Harga Jual Eceran (HJE) dan tarif CHT yang dibayarkan kepada negara lebih murah.
Kretek Murah Nan Estetik
Fenomena kretek murah ini menarik, karena banyak dari pabrikan yang tak mau menggadaikan kualitas, alias tetep melakukan quality control yang ketat pada kretek yang dilepas ke pasaran. Maka tak heran, banyak perokok yang cocok dan kesengsem dengan beberapa merk kretek baru.
Kemunculan kretek murah sebagai alternatif sebenarnya sudah ada terlebih dahulu di Jawa Timur, sebagai salah satu sentra kretek tanah air. Di pelosok-pelosok, dengan mudah ditemukan merk-merk kretek unik dengan harga nyaman di kantong. Uniknya, sekali lagi, banyak di antaranya yang dianggap enak.
Sejak pandemi Covid-19, produk-produk kretek murah mulai merambah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah. Maka tak heran, pada kedai-kedai tembakau yang cukup lengkap di Yogyakarta, kini dengan mudah dijumpai kretek yang dimaksud dipajang rapi di etalase khusus. Untuk Jakarta dan Jawa Barat, persebarannya tergolong lamban, walaupun mulai ada beberapa merk kretek murah yang muncul.
Kretek-kretek altenatif tersebut juga tak sembarangan digarap oleh produsen. Ciri-ciri utamanya yakni legal alias bercukai, punya desain yang menarik (umumnya retro atau vintage), dan memperhatikan rasa. Ini efektif mempengaruhi psikologi perokok, yang awalnya biasanya tertarik untuk mencicipi. Kalau cocok, maka konsumen tersebut akan mengulang membeli merk yang sama.
Maka ini adalah hal yang bagus, karena mau bagaimanapun juga, penggemar Kretek di Indonesia dikenal fanatik. Bahkan untuk beberapa merk termurah, jika dihitung-hitung, budget yang dikeluarkan hampir sama dengan belanja rokok racikan tingwe.
Tercatat beberapa merk yang kretek murah berkualitas yang kini ramai di pasaran. Seperti Harmoni, Jagung, Minak Djinggo, Alami, Aroma, Lojie 99, Juara, Marlboro non filter, Grendel, Tani Madjoe, Diablo.
Buat pedagang, ini juga memberikan keuntungan tersendiri. Kefanatikan penggemar kretek biasanya berjalan dengan alami. Saat ada kretek enak, reputasinya ditularkan dari mulut ke mulut, sehingga kita jarang melihat kretek-kretek murah ini melakukan promosi masif.
Kini pedagang juga banyak yang enggan menjual rokok ilegal, karena resikonya tinggi. Mereka khawatir tekena razia dan mendapatkan sanksi.
Fenomena munculnya kretek murah berikut penikmatnya adalah keniscayaan. Bagi pemerintah, tampaknya ini jadi pekerjaan rumah tersendiri, karena bila semua pabrikan bermain di harga rokok murah, maka pengendalian tembakau dalam konteks apapun itu, akan terhambat. Ini tampaknya luput dari antisipasi pemerintah saat memutuskan cukai secara sepihak.
Tampaknya tahun ini adalah tahunnya untuk kretek-kretek murah berkualitas.