THINKWAY.ID – Lato-lato, permainan sederhana yang belakangan ini hampir dijumpai dimana saja, mendadak populer di masyarakat. Dengan bebunyian khasnya, lato-lato merupakan sebuah alat main yang mempertemukan dua bandulan pendulum dari bahan plastik polimer yang dihubungkan dengan seutas tali kira-kira satu meter. Lewat tali ini, kedua bandulan tersebut saling dibenturkan sehingga menimbulkan efek suara “tek-tek-tek”.
Tolok ukur kemahiran seseorang saat memainkan lato-lato sederhana, saat ia bisa mempercepat benturan kedua bandulan dengan posisi stabil dan dalam jangka waktu lama, mengayun hingga 180 derajat. Bahkan, dalam beberapa posisi badan yang berbeda selain posisi tangan yang memegang mainan tersebut.
Muasal Lato-Lato
Awalnya, lato-lato lahir di Argentina sekira abad ke-19 dengan nama bolas. Konsep awalnya berupa senjata yang digunakan para koboi untuk menangkap Ilama, sejenis keledai atau kuda kecil, hewan asli Amerika Latin. Karena bertransformasi sebagai mainan, maka lato-lato juga lazim disebut dengan Blackers Ball, Ker-Bangers, Katto-Katto, dan nama lainnya.
Saat kali pertama populer di Amerika Serikat (AS) dan Kanada, lato-lato pernah digolongkan sebagai “mechanical hazard”, sebuah peringatan mainan yang bisa menimbulkan bahaya. Mainan ini sempat ditarik dari pasar kedua negara tersebut karena dilaporkan banyak anak-anak yang terluka saat bermain. Musababnya, lato-lato waktu itu berbobot berat karena terbuat dari plastik akrilik keras, dan bergerak cepat. Sekitar 90-an, lato-lato didesain ulang menggunakan plastik modern yang tak akan pecah.
Mainan yang kembali viral sejak Desember tahun lalu tersebut, pernah populer di Indonesia sekitar era 60-an, 90-an, dan awal 2000-an dengan nama lain nok-nok. Kini lato-lato banyak dimainkan oleh masyarakat Indonesia dari berbagai gender dan usia, karena sifatnya yang mudah didapatkan, dan murah meriah. Harga yang dipatok di pasaran sekitar 13 ribu hingga 20 ribu rupiah.
Fenomena Kidult (Kid-Adult)
Istilah Kidult belum lama ini juga mengemuka. Menurut kamus Cambridge, kidult adalah orang dewasa yang suka melakukan hal yang dilakukan anak kecil, atau membeli barang yang sejatinya untuk anak kecil. Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru, karena bisa jadi kelakuan orang dewasa yang kekanan-kanakan sudah ada sejak kali pertama manusia ada di muka bumi.
Uniknya, motif laki-laki dewasa beragam saat secara kesadaran penuh, tetap melakukan hobi di masa kecilnya, atau membeli barang-barang kesukaan, misalnya mainan semasa kecil yang tak sempat terbeli. Menjadi naik level lagi saat kemampuan finansial pria dewasa membaik, maka mainan yang dibeli bisa naik kasta, dalam artian lebih mahal.
Motif balas dendam juga sangat mungkin ada, karena fenomena kidult merupakan mekanisme alam bawah sadar laki-laki dewasa untuk mengobati “inner child”,berupa kondisi psikologis saat orang dewasa menunjukkan aspek anak-anak pada dirinya.
Konon, selalu ada “urusan yang belum selesai” atau unfinished business saat orang dewasa melewati fase anak-anak. Salah satunya, hubungan anak-anak di masa lalu dengan orang tuanya. Dalam kondisi ini, seorang anak bisa jadi dimungkinkan mengalami trauma tertentu, beberapa pengalaman atau perlakuan yang menyakitkan yang belum sempat terselesaikan, tapi keburu dewasa.
Terdapat idiom “Boys will be boys”, merujuk pada pengertian bahwa sedewasa apa pun seorang pria, mereka akan selalu memiliki sisi kekanak-kanakan layaknya seorang bocah di mana pun mereka berada. Ini mencakup soal pemikiran, tingkah laku, hobi, atau selera. Kidult sangat terkait dengan idiom ini.
Dicuplik dari Telegraph.co.uk, suatu waktu ilmuwan Universitas Newcastle Inggris melakukan sebuah penelitian dengan kesimpulan bahwa otak anak perempuan mulai berpikir dewasa sejak usia 10 tahun, sementara beberapa anak laki-laki harus menunggu sampai 20 tahun sebelum struktur organisasi yang sama mengalami perubahan. Dengan kata lain, anak perempuan mengalami pendewasaan 10 tahun lebih cepat dari anak laki-laki.
Maka tak heran, kita sering melihat fenomena pria dewasa masih gemar membeli mainan yang dalam anggapan umum, adalah mainan anak laki-laki. Kita juga tak asing melihat orang dewasa masih getol bermain game di komputer atau smartphone.
Tak cuma berbentuk barang, tapi orang dewasa juga sering melakukan hobi masa kecilnya, yang bisa diartikan berupa sebuah aktivitas rekreasi yang dilakukan di luar rutinitas saat waktu luang, untuk menenangkan pikiran atau relaksasi. Tujuannya, untuk memenuhi keinginan dan mendapatkan kesenangan. Maka kerapkali pula, sering terlihat kekonyolan pria dewasa yang bertindak layaknya anak laki-laki.
Fenomena lato-lato ini menarik, karena jadi salah satu contoh nyata fenomena kidult. Terbukti dengan banyaknya penggemar multi-gender dan multi-usia yang memainkan mainan yang kaya warna ini.
Sisi Positif Lato-Lato
Sisi positifnya, lato-lato bisa menstimulus kemampuan motorik terutama pada anak-anak. Permainan ini bisa meningkatkan fungsi koordinasi antara kemampuan kognitif dan motorik.
Karena umumnya dimainkan bersama dengan teman sebaya, maka lato-lato bisa meningkatkan perkembangan sosio-emosional anak. Jiwa kompetitif terasah saat ada kawan sebaya yang main lebih jago. Ini akan mempengaruhi kecerdasan emosional mereka.
Satu lagi, anak-anak menjadi tak melulu memainkan gawai saban waktu.
Lato-lato menunjukkan bahwa inner child bukan sesuatu yang bisa dihapus dan sangat manusiawi. Tak peduli sedewasa apapun seseorang, ia akan selalu punya sisi kekanak-kanakan.