THINKWAY.ID – Hingga kini, rokok dan perokok masih mendapat stigma negatif dari pihak-pihak yang memandang negatif salah satu produk turunan dari tembakau tersebut. Padahal, pemanfaatan tembakau sebenarnya tak hanya sebagai barang rekreasi atau relaksasi semata.
Rokok hampir selalu diidentikkan dengan gaya hidup tidak sehat. Akibatnya, regulasi yang diberlakukan pada rokok acapkali mengabaikan second opinion, atau hanya melihatnya dari satu sisi saja. Kita bisa melihatnya pada alasan penentuan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT), yang selalu berporos pada alasan kesehatan.
Ini cukup ironis, karena seolah-olah riset pada tembakau sebagai salah satu komoditas unggulan tanah air, tak dibuka dan dipublikasikan secara transparan. Bahkan dukungan dari pemerintah untuk riset manfaat lain dari tembakau belum nyata terlihat.
Patokannya sederhana. Hingga kini, kita kesulitan menemukan jurnal atau produk riset lain soal penelitian ilmiah tentang tembakau. Kita masih asing dengan zat-zat dalam tembakau selain nikotin, seperti saponin, flavonoid, dan alkaloid.
Saponin bisa bermanfaat untuk antimikroba, dan berguna melindungi tanaman dari hama serangga serta menghambat jamur. Sementara itu, flavonoid berguna untuk tubuh manusia sebagai pencegah dan obat alergi, infeksi virus, dan memperbaiki sel rusak akibat radikal bebas. Lain lagi dengan alkaloid, zat ini berguna untuk memacu sistem saraf, menaikkan atau menurunkan tekanan darah dan melawan infeksi mikrobia.
Scavenger dan Divine Kretek
Kalau dipersempit dalam produk rokok, ini pun masih bisa dilakukan uji ilmiah dan sudah terbukti. Selama ini, terdapat beberapa produk rokok yang diklaim sebagai rokok obat, kadang berbentuk rokok herbal dengan kandungan rempah asli Indonesia yang sangat bermanfaat untuk kesehatan, atau dalam bentuk lain.
Sekira 2005-2007, di Indonesia muncul hasil penelitian ilmiah terkait hal tersebut. Penelitian ini memberikan cara pandang yang sama sekali berbeda dari sangkaan dan stereotype rokok yang horor. Bahwa rokok atau tembakau juga mampu memberikan manfaat pada aspek kesehatan.
Penelitian yang dimaksud dilakukan oleh dua profesor di bidang kedokteran, Dr. Gretha Zahar dan Prof. Sutiman Bambang Sumitro. Dr. Gretha Zahar adalah seorang ilmuwan nuclear science dan ahli kimia radiasi murni (radikal, radikal bebas, dan biradikal). Sementara itu, Prof. Sutiman Bambang Sumitro adalah spesialis Biologi Sel dan Nano Biologi, serta Guru Besar Biologi Sel dan Molekuler Universitas Brawijaya (UB).
Keduanya melakukan riset ilmiah berbasis nanosains (nano-science) nanoteknologi (nano-technology), dan nano-biologi (nano-biology) dan berhasil memformulasikan suatu materi yang disebut Scavenger, suatu formula yang dapat memperkecil partikel asap menjadi partikel berskala sangat kecil (nano), yang mampu menangkap, mengendalikan, dan meluruhkan radikal bebas.
Saat Scavenger dibubuhkan pada rokok kretek, rokok tersebut menjelma menjadi kretek sehat. Kedua peneliti tersebut menyebutnya dengan divine kretek, divine cigarette atau divine kelobot. Peran aktif Scavenger pada divine kretek adalah mentransformasi asap rokok yang mengandung materi berbahaya dan radikal bebas, menjadi tidak berbahaya bagi kesehatan.
Kunci divine kretek adalah pada proses terapi balur, dengan target utama pada asap tembakau. Asap itu dihembuskan melalui lubang-lubang tertentu pada tubuh manusia. Asap ini dipercaya mampu membantu mengeluarkan radikal bebas dari dalam tubuh.
Berbeda dengan produk rokok komersial, tembakau yang dipakai untuk terapi tersebut diambil langsung dari petani tanpa perantara, diproses secara khusus, sehingga tak mengandung merkuri yang membahayakan tubuh manusia. Dalam langkah ini juga tersemat tujuan mensejahterakan petani tembakau.
Tak hanya dalam produk berbentuk rokok, terdapat inovasi divine kretek dalam bentuk cair, yakni obat peluntur kandungan merkuri yang penggunaanya dengan cara diteteskan pada filter rokok-rokok pabrikan.
Penelitian yang dilakukan juga membuktikan bahwa asap divine kretek bisa memacu pertumbuhan akar kecambah kedelai. Partikel asap rokok tersebut mampu menjadi penyedia elektron pada sistem transfer listrik dalam proses fisiologi normal.
Asap divine kretek tidak berbau dan menjadikan udara bersih sehingga sangat potensial menjadi ramah lingkungan. Ini juga bebanding lurus dengan pemanfaatan asap tembakau dan cengkeh untuk pengobatan di masa lampau yang telah dilakukan secara tradisional oleh kalangan dokter di Eropa abad pertengahan.
Jalan Tengah Debat Tembakau
Alangkah baiknya kalau kita memandang objektif sebuah hal. Dalam konteks rokok dan kesehatan, terdapat istilah fasisme kesehatan (health fascism), berupa pandangan paternalistik tentang pentingnya kesehatan yang harus diwujudkan melalui kekuasaan negara, ditargetkan secara sepihak kepada kelompok sasaran tertentu, dengan menyebarkan diskursus kepanikan moral tentang konsekuensi ketidaksehatan yang dapat terjadii
Hasil penelitian berupa divine kretek seharusnya mampu membantah dalih kesehatan yang selama ini didengungkan oleh kalangan anti rokok/tembakau.
Penemuan ini berpotensi membalikkan beragam kampanye dan argumentasi kesehatan dimana rokok dan tembakau dituding sebagai biang timbulnya penyakit. Ruang publik didominasi dengan sangkaan-sangkaan yang pada akhirnya tidak mutlak kebenarannya. Melimitasi ruang kebebasan merokok seharusnya didasari pada landasan kuat.
Temuan ini menawarkan semacam jalan tengah dan bagaimana melakukan edukasi terhadap masyarakat yang seharusnya bila dilakukan pemerintah. Pemerintah dan DPR perlu mengkaji secara sungguh-sungguh seluruh aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat terkait dengan tembakau. Saat mengeluarkan kebijakan misalnya penentuan cukai rokok dan pengaturan areal merokok, harus murah hati, welas asih, artinya adil dan tidak diskriminatif.
Rujukan: Buku Divine Kretek, Rokok Sehat (2011), diterbitkan oleh Masyarakat Bangga Produk Indonesia (MBPI).