Pada sisi bisnis, usaha rokok dibatasi dengan PP No 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. PP ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 64/MIND/PER/7/2014 tentang Pengawasan dan Pengendalian Usaha Industri Rokok. Masih lagi disertai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 205/PMK.011/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Ada banyak contoh regulasi yang menjepit industri rokok. Di televisi, iklan rokok telah dibatasi jam tayang mereka. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membatasi jam tayang iklan rokok dari pukul 21.30 hingga 05.00 pagi dengan muatan konten iklan tidak menunjukkan aktivitas orang merokok. Tidak berhenti sampai di situ, pemerintah juga mewajibkan kemasan peringatan bahaya rokok. Dalam setiap kemasan, ditampilkan contoh-contoh gambar kemungkinan timbulnya penyakit akibat merokok yang cukup mengerikan.
Di tingkat daerah, Peraturan-peraturan daerah (Perda-perda) bermunculan peraturan tentang larangan merokok di tempat-tempat umum berikut denda dan sanksinya. Hampir tiap ruang ada kampanye antirokok dari tempat pelayanan kesehatan hingga ruang terbuka. Walaupun aturan tentang rokok makin ketat, uniknya, jumlah perokok di Indonesia justru meningkat.
Sebagaimana diketahui untuk menekan jumlah perokok itu, pemerintah memberikan keleluasaan bagi kementerian kesehatan untuk melakukan kampanye antirokok. Sebaliknya, kementerian perdagangan memberikan lampu hijau bagi industri rokok melalui Perpres No 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional Dalam kategori industri tembakau,
Perpres tersebut memuat beberapa poin penting yakni, “memberlakukan kebijakan cukai yang terencana, kondusif dan moderat; menjamin keseimbangan pasokan dan kebutuhan bahan baku serta peningkatan produktivitas tembakau dan cengkeh; dan meningkatkan ekspor produk tembakau dan rokok.”
Penerimaan negara dari cukai rokok terbukti meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2012 negara mendapat Rp87 triliun dari cukai rokok. Di tahun berikutnya bertambah menjadi Rp100,7 triliun. Pendapatan meningkat lagi sampai Rp111,4 triliun di tahun 2014. Pada 2015 menembus Rp 139,5 triliun melebihi target yang ditetapkan pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015, yakni 136,12 triliun.
Berdasarkan pro dan kontra tentang rokok dan industri pengolah tembakau/rokok, industri rokok tetap harus berkembang, karena berjuta-juta jiwa menggantungkan hidupnya pada sektor ini, mulai dari sektor perkebunannya sampai dengan industri pengolah tembakau/rokok-nya.
Selama rentang waktu enam tahun, jumlah perusahaan industri besar sedang pengolahan tembakau mengalami penurunan, sampai dengan tahun 2015 sebanyak 463 perusahaan. Hal ini dikarenakan ada beberapa perusahaan tembakau khususnya perajangan tembakau yang tutup atau berubah menjadi industri kecil. Di Jawa Timur, industri pengolah tembakau terbanyak ada di Kota Malang sebanyak 52, selanjutnya Tuban sebanyak 46 perusahaan dan Sidoarjo sebanyak 42 perusahaan.
Kebutuhan konsumsi rokok dari tahun ke tahun terus meningkat. Berdasarkan data Kementrian Perindustrian, pertumbuhan produksi rokok naik pada kisaran 5% hingga 7,4% per tahun. Pada tahun 2015, Kemperin memprediksi produksi rokok mencapai 398,6 miliar batang, dan pada tahun 2016 diperkirakan naik sekitar 5,7% yakni menjadi 421,1 miliar batang. Pada tahun 2020, diproyeksikan produksi mencapai 524,2 miliar batang. Artinya bahwa betapa banyak tembakau yang dibutuhkan sebagai bahan baku industri.***