THINKWAY.ID – Pernah melihat kuku yang dihias dengan berbagai warna, kreasi dan bentuk tertentu? Seni ini disebut dengan nail art. Sederhananya adalah seni menghias kuku. Kini populer di Indonesia sebagai salah satu media untuk menuangkan seni, selain fungsi estetik dalam media kuku tangan dan kaki.
Nail art bisa ditelusuri sejak zaman sebelum masehi. Walaupun tak ditemukan sumber tertulisnya, asal mulanya terinspirasi dari budaya mengenakan henna yang dilakukan kaum perempuan India sejak tahun 5.000-3000 Sebelum Masehi. Mereka menghias tangan, punggung tangan, hingga jari-jari, dengan henna pada momen spesial mereka, seperti upacara adat dan pesta pernikahan.
Penggunaan Nail Art untuk Pria dan Wanita
Uniknya, nail art kali pertama digunakan oleh kaum pria yang mewarnai kuku mereka dengan cara memanfaatkan celak mata (kohl) berwarna hitam pada zaman Babilonia kuno. Kala itu, kuku yang bercorak hitam menunjukkan kelas sosial tertentu. Warna kuku hijau menunjukkan kasta sosial lebih rendah.
Kaum perempuan di zaman Mesir kuno juga menggunakannya untuk menandai kelas sosial. Mereka memanfaatkan ekstrak tanaman pacar (henna). Ratu Mesir kuno yang sangat terkenal, Neterfiti, menggunakan warna merah untuk menghias kuku kaki dan tangannya. Sedangkan Cleopatra memilih menggunakan cat kuku bernuansa emas. Wanita awam dalam arti kasta rendah, dilarang menggunakan cat kuku yang berwarna sama dengan ratu.
Di China kuno, material yang berbeda digunakan untuk mewarnai kuku. Pada zaman dinasti Ming, cat kuku diciptakan dari campuran lilin, gelatin, putih telur, pewarna sayuran, dan permen karet. Di zaman dinasti Zhou, kaum elit kerajaan menggunakan warna emas dan perak untuk mewarnai kuku, sebelum terjadi pergeseran menjadi warna hitam dan merah. Tujuannya sama, untuk menandai kelas sosial.
Revolusi industri sekira abad 18 turut berpengaruh pada perkembangan seni hias kuku ini. Mulai ditemukan bahan-bahan kimia sebagai bahan subtitusi bahan organik. Akhir abad ke-19, Amerika berperan merubah peta pemanfaatannya. Potensi bisnis mulai dilirik, terutama usaha salon. Tahun 1976, nail art merambah dunia mode. French manicure dikenalkan pada pekan mode Paris, oleh Jeff Pink. Ia menganut metode praktis dalam pembuatannya, khususnya untuk para wanita.
Di Indonesia, kaum perempuan mulai melirik kuku sebagai salah satu pilihan hobi dan gaya hidup sekira tahun 2012. Para wanita terutama yang bermukim di perkotaan, senang saat kukunya tampak rapi dan bersih. Hiasan dekoratif namun tampak natural jadi pilihan lain selain tampilan dasar.
Nail Art dan Budaya Populer
Seni hias kuku ini mulai merambah budaya populer pada 1994, saat aktris Uma Thurman tampil memukau dengan kuku merah gelap dalam film Pulp Fiction. Sejak era itu, style ini dinormalisasi jadi salah satu unsur yang diperhatikan sebagai standar untuk tampil di dunia ekbis. 2011-2012, populerannya semakin menanjak saat industri fashion memanfaatkannya sebagai salah satu unsur penting untuk para model yang berlanggak-lenggok di catwalk.
Hal ini bahkan diadopsi sebagai salah satu unsur dandanan musisi cadas, khususnya genre gothic metal. Eye shadow pada mata adalah riasan yang dianggap cocok dipadukan dengan nail art bernuansa gelap.
Di Indonesia, perkembangannya dipengaruhi oleh merebaknya budaya pop Jepang dan Hallyu Wave alias Gelombang Korea, istilah yang merujuk pada tersebarnya budaya pop Korea secara global pada berbagai negara di seluruh dunia, dimulai dari tahun 1990-an. Kelompok vokal perempuan (girlband) dan kelompok vokal laki-laki (boyband), dengan budaya Korean pop (K-Pop) yang menyasar kalangan muda. Seiring dengan itu, nail art di Indonesia kemudian banyak dikenalkan dan dipopulerkan oleh para beauty vlogger.
Uniknya, para member boyband justru mendoiminasi pemakaian seni hiasan kuku. Mereka menormalisasi pemakaiannya pada kaum Adam, sebagai ekspresi seni. Ini menunjukkan bahwa nail art tak punya batasan gender. Tercatat beberapa public figure luar negeri yang turut mempopulerkan pemakaian nail art, di antaranya Harry Styles, J-Hope (BTS), dan G-Dragon.
Potensi Bisnis
Nail art sangat berpotensi menghasilkan uang. Di Jakarta dan banyak kota major lain, banyak berdiri nail salon dan nail studio. Persentase terbanyak masih dipegang nail salon. Seseorang yang berniat merawat dan menghias kuku tangan dan kakinya bisa datang langsung ke tempat ini, karena nail salon fokus ke manicure-pedicure, spa tangan dan kaki. Nail studio lebih idealis, lebih privat, dan menawarkan servis dengan lebih personal. Nail studio biasanya fokus ke riasan tangan saja. Satu pembeda yang ditawarkan nail studio adalah soal home service, berupa jasa merawat dan merias kuku dengan mendatangi rumah tinggal si pelanggan.
Sebagai hitungan kasar, dalam sekali sesi manicure ditambah dengan 1 riasan warna polos pada kuku, bisa dipatok seharga Rp.100-200 ribu. Semakin banyak warna yang digunakan, maka harga bisa lebih mahal. Begitu juga saat ditambahkan dengan unsur lain, dan sentuhan seni lainnya. Nail art bisa dikatakan hampir tak ada limitnya, karena berhubungan dengan seni. Untuk seni nail art yang kompleks, harga yang dipatok tergantung nail artis selaku seniman.
Selain itu, nail artis yang sudah profesional banyak yang membuka kursus atau pelatihan untuk orang yang berminat mendalami nail art, dengan tarif harga tertentu.
Era globalisasi, semakin berkembangnya media sosial dan e-commerce, serta meluasnya market dan segmen pelanggan, membuat industri nail art semakin berpotensi besar. Dengan kata lain, industri nail art tak ada matinya. Apalagi, nail art sangat lekat dengan seni dan fashion.