THINKWAY.ID – Jakarta kembali terancam banjir. Mungkin itu terdengar klise dan jadi topik pembicaraan dan pemberitaan yang berulang setiap tahun. Tapi ini memang tak terelakkan, karena banjir memang jadi masalah tahunan untuk Jakarta.
Bicara banjir Jakarta, tak bisa lepas dari sungai Ciliwung. Sungai sepanjang 120 km ini melintasi Kabupaten dan Kota Bogor, Kota Depok, dan Provinsi DKI Jakarta. Karena Jakarta adalah akhir dari aliran Ciliwung, maka debit air saat meluap tak bisa dielakkan, sehingga timbul banjir.
Lepas dari sejarahnya yang panjang, Ciliwung menyimpan banyak cerita dan fakta menarik. Sungai-sungai, umumnya ditopang oleh ekosistem yang terdiri dari flora dan fauna. Ada yang umum ditemukan di sungai lainnya, ada pula yang endemik sungai tersebut.
Ciliwung punya ekosistem khas, salah satunya fauna endemik yang punya nama lokal Senggawangan. Hewan amphibi bernama ilmiah Chitra Chitra Javanensis ini merupakan keluarga bulus besar, yang terhitung langka dan dilindungi oleh pemerintah dan badan konservasi internasional, IUCN.
Ciri utama Senggawangan adalah, cangkangnya yang bertekstur halus, tidak solid alias lembek, serta seolah-olah bermotif kaligrafi Cina. Kepala hewan ini besar, bertanduk, dan bermata merah. Bibirnya bagai memakai gincu.
Senggawangan kali pertama ditemukan pada 1908, sejumlah 2 ekor. Keduanya tersimpan di Museum Biologi Bogor dan salah satu museum di Jerman. Setelah itu, laporan penemuannya terhitung jarang.
Kearifan Lokal dan Upaya Menangkal Banjir
Saking langkanya, maka timbul berbagai kepercayaan masyarakat, khususnya yang tinggal di kampung-kampung bantaran Ciliwung. Kepercayaan ini serupa dengan urban legend, dan tertular dari mulut ke mulut. Di masa silam, Senggawangan dianggap gaib, bahkan dipercaya sebagai hewan siluman. Mitos Senggawangan berkembang dengan banyak bumbu, seperti mitos Buaya Buntung dan Buaya Putih di Betawi tradisional.
Dulu, masyarakat Ciliwung percaya jika seseorang bertemu atau melihat Senggawangan, maka ia bisa tertimpa sakit semacam meriang. Orang pun kemudian begitu takut dengan mitos ini. Bayangkan, melihat Senggawangan pada masa itu, walaupun tak sengaja, dianggap terlarang. Apalagi menangkapnya?
Mungkin terdengar tak masuk akal, tapi cerita turun temurun lewat tradisi lisan yang ditularkan oleh orang-orang terdahulu, sesungguhnya merupakan pesan soal pelestarian lingkungan dan konservasi secara kultural. Dalam konteks Senggawangan, “menakut-nakuti” masyarakat menjadi cara yang efektif untuk menjaga ekosistem sungai, sehingga flora, fauna, dan potensi kerusakan lingkungan bisa dihindari. Secara tak sadar, masyarakat diajak untuk tepo seliro dengan segala bentuk kehidupan lain di sungai.
Apakah serta merta kearifan lokal semacam dongeng Senggawangan ini mampu menangkal Jakarta dari banjir? Bisa jadi secara langsung tidak demikian, tapi dengan melestarikan kearifan lokal soal mitos Senggawangan dalam zaman modern, setidaknya bisa menumbuhkan kesadaran masyarakat soal Ciliwung secara umum, dan secara spesifik, Senggawangan.
Kalau prosesnya sehat, maka harapannya, masayarakat akan berpikir ulang saat ada keinginan untuk membuang sampah di Ciliwung. Warga akan punya beban moral berlebih jika habitat Senggawangan rusak dan tercemar karena sampah. Efek jangka panjangnya, sungai semakin bersih, dan banjir dapat dihindari.