THINKWAY.ID – Isu dan Wacana soal kenaikan cukai rokok kembali menyeruak. 2021, tarif cukai rokok dinaikkan oleh pemerintah rata-rata 12,5%, dan 2022 rata-rata 12%. Tahun depan, kemungkinan berpotensi dinaikkan kembali, merujuk pada Rancangan Undang-Undang Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2023 dan Nota Keuangan yang disusun pada Agustus 2022.
Penting untuk mengetahui muasal cukai rokok, karena sarat dengan kepentingan pihak yang berkaitan dengan industrui tembakau. Pengaturannya bahkan telah dilakukan sejak era kolonial Hindia Belanda. Potensi ekonomi bernilai besar dari hasil penjualan tembakau menjadi motif utamanya.
Pada 1931 saja, penjualan rokok putih mencapai 7,1 miliar batang per tahun. Pada 1932, 165 pabrik rokok sudah ada di Kudus. Produksi kretek mencapai angka fantastis, 6,42 miliar batang per tahun. Statistik ini menunjukkan, bahwa rokok merupakan komoditas unggulan, Serapan tenaga kerjanya banyak, dan sangat berpotensi mengisi pundi-pundi kas negara.
Cukai Rokok Era Cerita Rakyat
Catatan soal rokok racikan tembakau dan cengkih termuat dalam cerita rakyat Roro Mendut. Konon kecantikan Roro Mendut memikat banyak pria, termasuk Tumenggung Wiraguna, panglima perang Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Roro Mendut tak mau tunduk, dan terang-terangan menolak pinangan tersebut.
Tumenggung Wiraguna murka. Sebagai balasan, ia “menghukum” Roro Mendut dengan mewajibkan membayar pajak kepada Kerajaan Mataram, sebesar 3 Real per hari. Roro Mendut tak kalah akal, ia mengumpulkan uang dengan berniaga sigaret lintingan yang direkatkan dengan jilatan air ludahnya sendiri.
Cukai Rokok Era Kolonial Hindia Belanda
Pengaturan cukai rokok baru diterapkan jelang tengah abad ke-20, walaupun pengembangan tanamaan tembakau sebagai komoditas telah dikembangkan sejak tengah abad ke-19. Ini diikuti dengan maraknya perdagangan rokok di Hindia Belanda yang marak sejak 1880 hingga 1931.
Tahun 1858, tembakau berhasil dikembangkan secara massal dan cukup terencana. Tembakau bahkan menjelma jadi salah satu komoditas ekspor andalan. Tentu saja ini menjadi salah satu sumber pemasukan keuangan untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Hal-hal tersebut disinyalir merupakan latar belakang utama pengaturan cukai rokok. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menyebutnya sebagai Tabaksaccijns Ordonnantie (Ordonansi cukai tembakau), yang diatur dalam Staatsblad Nomor 517 Tahun 1932, Staatsblad 560/1932, serta Staadsblad 427/1935. Staatsblad merupakan lembaran kertas yang berisi peraturan-peraturan resmi dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, biasanya mempunyai nomor urut dan tahun penerbitan.
Regulasi cukai tersebut mencakup soal pita cukai, bea ekspor-impor, dan ketentuan besaran jumlah yang diterima pemerintah.
Cukai Rokok Era Kemerdekaan dan Orde Lama
Pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan masih mengadopsi Staatsblad 517/1932, dimodifikasi dan dipertegas dengan mengeluarkan Undang-undang (UU) Nomor 28 tahun 1947. UU ini menetapkan perhitungan cukai menurut harga eceran, semua biaya yang dikeluarkan untuk menyiapkan tembakau, dan mengatur tata cara memungut cukai, serta nomor pengawasan cukai.
UU Darurat Nomor 22 Tahun 1950 mengatur soal tentang Penurunan Cukai Tembakau, Harga Jual Eceran (HJE), dan penetapan golongan-golongan pengusaha tembakau yang dibebani kewajiban bayar cukai. Diikuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 1951 tentang perubahan tabaksaccijnsverordening (peraturan cukai tembakau), yang mengatur penetapan besarnya pungutan cukai hasil tembakau, dengan cara melekatkan pita cukai warna-warni yang beragam di beberapa jenis atau penggolongan hasil tembakau yang diproduksi.
UU Nomor 16 Tahun 1956 mengatur tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau. Tujuannya, untuk mengurangi dampak makin banyaknya perusahaan rokok yang bangkrut, karena tingginya cukai, khususnya perusahaan-perusahaan kecil skala rumah tangga yang bangkrut.
Aturan ini dibuat untuk merapikan semua peraturan yang sudah ada mengenai rokok sebagai produk hasil tembakau, juga untuk memberi subsidi kepada perusahaan-perusahaan rokok, berupa penurunan cukai pada jumlah tertentu dan pembebasan cukai atas pengusaha-pengusaha rokok selama satu tahun (tax holiday). UU ini tak lagi menetapkan cukai berdasarkan HJE per bungkus rokok, tapi pada setiap batang rokok.
Cukai Rokok Era Orde Baru
UU Nomor 11 Tahun 1995 dibuat dengan penyesuaian pada cukai komoditi selain tembakau. PP Nomor 24 Tahun 1996 soal Pengenaan Sanksi Administrasi di Bidang Cukai, PP Nomor 25 Tahun 1996 tentang Izin Pengusaha Barang Kena Cukai, dan PP Nomor 55 Tahun 1996 mengenai Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai.
Penetapan cukai pada masa Orde Baru menggabungkan pendekatan atas dasar harga jual eceran (HJE), dan atas dasar jumlah batang rokok yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Cukai dibuat sebagai upaya pengendalian harga jual dari pemerintah, terhadap rokok dan produk tembakau lain seperti sigaret, cerutu, dan rokok daun, yang dipungut dan berlaku pada saat pembelian.
Pada UU 11/1995 Pasal 5 menyebutkan, barang kena cukai yang dibuat di Indonesia dikenai cukai berdasarkan tarif setinggi-tingginya 250% dari harga dasar bila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik atau 55% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
Cukai Rokok Era Reformasi
Cukai Rokok Era Reformasi ditandai dengan munculnya kebijakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT). Cukai tembakau dimasukkan dalam perhitungan dana bagi hasil antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah penghasil tembakau, yang diatur dalam PMK Nomor 84/PMK.07/2008 dan Nomor 126/PMK.07/2010
Sederhananya, DBH-CHT adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah, dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Besaran DBH-CHT selalu diperbarui mengikuti kontribusi produksi tembakau atau hasil tembakau pada tahun sebelumnya, dan dibagikan pada 25 provinsi penghasil cukai dan penghasil tembakau. PMK No.215/PMK.07/2021 mengaturan besaran alokasi DBH-CHT: 40% untuk kesehatan. 50% untuk kesejahteraan masyarakat (dibagi dua, 30% untuk peningkatan kualitas bahan baku, peningkatan keterampilan kerja dan pembinaan Industri. 20% untuk pemberian bantuan). 10% sisanya untuk penegakan hukum.
PMK No.84/PMK.07/2008 mengatur bahwa kepala daerah, memegang tanggung jawab menggerakkan kegiatan yang didanai DBH-CHT, memastikan tersusunnya usulan program, dan terlaksananya kegiatan yang didanai DBH-CHT.
Desakan Meningkatkan Cukai Rokok
Dalam Buku Kriminalisasi Berujung Monopoli (Salamudin Daeng, dkk: 2011), bahwa selain karena nilai komoditi yang besar, Indonesia tenyata mendapatkan tekanan dari lembaga-lembaga intenasional (Bank Dunia, IMF, WHO) untuk membatasi produk tembakau dan olahannya dengan cara mendorong kenaikan pajak (cukai) tembakau secara terus-memerus. Tujuannya, agar produksi dan konsumsi tembakau dapat berkurang sekaligus. Ini dilakukan lewat beberapa cara, misalnya tekanan politik, utang luar negeri, maupun perjanjian intenasional.
Sebuah laporan yang dikeluarkan Bank Dunia berjudul Curbing The Epidemic: Governments and Economics of Tobacco Control, menyatakan bahwa kebijakan menaikkan harga rokok merupakan strategi utama yang harus dilakukan untuk menurunkan konsumsi tembakau.
Laporan ini mengklaim bahwa berdasarkan pengalaman dari berbagai negara, menunjukkan bahwa menaikan harga rokok, efektif menurunkan permintan tehadap rokok. Pajak tinggi diklaim efektif mencegah sejumlah mantan perokok kembali merokok, dan menurunkan besarnya konsumsi rokok bagi perokok aktif. Mereka juga merekomendasikan perluasan akses pada pengganti nikotin (NRT) dan terapi penyebuhan kebiasaan merokok.
Laporan ini terkesan menihilkan komponen lain, misalnya serapan tenaga kerja yang banyak, kesejahteraan para pelaku industri tembakau khususnya petani dan buruh pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT), dan perataan bagi hasil tembakau via DBH-CHT.
Bisa disimpulkan bahwa segala peraturan yang dibuat dan diterapkan oleh pemerintah, terlepas dari tren yang nyaris selalu menanjak, hampir semuanya bermuara pada pengerukan keuntungan besar-besaran pada komoditas tembakau. Dalam setiap era, watak kolonial masih melekat erat pada segala jenis kebijakan mengenai cukai tembakau yang diterapkan.