THINKWAY.ID – Sepanjang bulan Juni tercatat tiga kali Jakarta menduduki posisi pertama. Jakarta memperoleh posisi puncak pada Rabu (15/06/22) pukul 10.00 dengan indeks 181 US AQI dan PM2.5 sebesar 118 µg/m³. Kemudian pada Jumat, 17 Juni 2022 pukul 12.00 dengan indeks 182 AQI US. Puncaknya 18 Juni 2022 dini hari, tepatnya pukul 01.20 WIB, Jakarta kembali bertengger di posisi pertama kota dengan kualitas udara terburuk dunia dengan angka 181 AQI US. Angka itu menunjukkan kualitas udara di ibu kota tidak sehat. Jumlah PM2.5 yang tercatat 114 µg/m³ atau 22,8 kali lebih tinggi dari nilai pedoman kualitas udara tahunan WHO.
Sebenarnya apa penyebab kualitas udara Jakarta yang buruk?
Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu menyebutkan, salah satu penyebab polusi udara Jakarta tertinggi memang cuaca. Namun, penyebab utama lainnya adalah masih adanya sumber pencemar udara (bergerak dan tidak bergerak) yang terbukti belum bisa dikendalikan serius melalui kebijakan yang seharusnya diambil oleh pemerintah.
Bondan mengutip kajian Vital Strategies yang bekerja sama dengan ITB dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di tahun 2019-2020. Kajian itu menentukan pendekatan berbasis reseptor untuk menghitung kontribusi PM2.5 di hujan dan kemarau. Pengumpulan sampel dilakukan di tiga lokasi, yaitu Gelora Bung Karno (GBK), Kebon Jeruk (KJ) dan Lubang Buaya (LB).
Kajian ini menemukan bahwa kontributor polutan PM2.5 di Jakarta adalah sektor transportasi yaitu 32-41% di musim penghujan dan 42-57% di musim kemarau. Penggunaan kendaraan bermotor di Jakarta naik hampir dua kali lipat pada 2020. Berdasarkan data BPS, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta adalah 11.839.921 pada tahun 2019. Pada 2020 jumlah itu meningkat jadi 20.221.821 kendaraan
Secara umum terdapat tiga sumber polusi di Jakarta yakni sektor transportasi, sektor industri, dan sektor domestik. Menurut inventori emisi yang dibuat Puji Lestari dkk. pada 2020, sektor transportasi paling banyak menyumbang Karbon Monoksida (CO), Nitrogen Oksida (NOx), dan partikel halus PM2,5. Sementara pada sektor industri paling banyak menyumbang Sulfur Dioksida (SO2), juga PM2,5 dalam jumlah yang signifikan.
Sedangkan Fajri Fadhillah, peneliti di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam wawancaranya dengan BBC News Indonesia menyebutkan bahwa “Sumber tidak bergerak di Jawa Barat dan Banten, utamanya industri dan pembangkit listrik, itu kontribusinya cukup signifikan untuk SO2 dan NOx, yang ketika berinteraksi di atmosfer selama ratusan kilometer sampai di Jakarta itu bisa jadi PM2,5.”
Dalam sebuah studi oleh lembaga riset Center for Research of Energy and Clean Air, yang berbasis di Finlandia, menyebutkan terdapat sekitar 118 fasilitas industri, termasuk pembangkit listrik yang beroperasi di Jawa Barat dan Banten. Para pakar lingkungan mengatakan polusi dari daerah-daerah tersebut dapat terbawa angin sampai ke Jakarta.Fajri menjelaskan bahwa saat musim kemarau, polusi dari Jawa Barat turut berkontribusi pada penurunan kualitas udara Jakarta, sedangkan saat musim penghujan, giliran polusi dari Banten yang berdampak pada kualitas udara ibu kota.
Apa yang harus kita lakukan?
Fajri Fadhilah mengajak kita mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya harus menjalankan kewajibannya melakukan pengawasan dan supervisi terhadap tiga kepala daerah (Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta). Ia menututrkan “Untuk melakukan upaya pengetatan batas ambang emisi untuk seluruh sumber pencemar udara di daerahnya masing-masing.” Menurutnya, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi tidak lagi perlu saling tuding ataupun berdebat mengenai sumber pencemar udara di Jakarta. Seharusnya, mereka dengan cepat menyusun langkah-langkah pengendalian pencemaran udara yang lebih ketat bersama. “Baku mutu emisi baik untuk kendaraan bermotor maupun untuk industri seperti pembangkit-pembangkit listrik bertenaga fosil harus diperketat. Kedua sumber pencemar udara sama-sama perlu diperketat,” tegasnya.
Sementara itu, pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jeanny Sirait mendesak pemerintah selaku tergugat untuk mengimplementasikan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada September 2021 mengenai gugatan warga negara atas polusi udara. Jeanny mengatakan “Sampai saat ini, pemerintah pusat dan daerah terkesan lepas tangan dengan permasalahan polusi dalam beberapa hari ini dan hanya menyalahkan cuaca”
Rekomendasi lain disampaikan oleh DLH BEM UI dikutip dari Tempo merekomendasikan kebijakan strategis dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatasi akar penyebab tersebut.
Pertama, permasalahan kemacetan Ibu Kota yang dapat ditangani dengan mempertegas peraturan mengenai pembatasan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil, meningkatkan kualitas layanan umum untuk menerapkan sistem “pull and push” dan mendorong elektrifikasi kendaraan bermotor sebagai mode transportasi yang lebih ramah lingkungan.
Kedua, penggunaan energi tidak terbarukan yang dominan dapat ditangani dengan mengakselerasi penyusunan peraturan pelaksanaan yang mendukung pengembangan energi baru terbarukan (EBT) melalui Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi DKI Jakarta. Kegiatan tersebut, menurut Panji, dapat melibatkan masyarakat dalam pengembangan dan penerapan EBT serta mengintensifkan riset dan pengembangan yang dapat mendukung progres lokalisasi EBT.
Ketiga, permasalahan sampah yang tak kunjung usai yang dapat ditangani dengan menerapkan konsep “circular economy” untuk mengurangi timbulan sampah dan meningkatkan tingkat daur ulang serta meningkatkan kapasitas penyediaan Unit Pengelolaan Sampah (UPS) yang lebih merata. Kemudian mengkaji potensi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) serta meningkatkan edukasi terhadap masyarakat sekitar mengenai pemilahan sampah dan “food waste“. Koordinator Bidang Sosial Lingkungan BEM UI Amira Widya Damayanti menyatakan, pihaknya berkomitmen mengawal permasalahan polusi udara di DKI Jakarta.
Upaya-upaya di atas perlu didukung oleh kita sebagai masyarakat untuk mendesaknya.