THINKWAY.ID – Selama satu dekade terakhir, Paguyuban Mitra Produksi Sigeret Indonesia (MPS-I) mencatat sebanyak 3.915 pabrik rokok tutup. Djoko Wahyudi, Ketua MPS-I, mengungkapkan bahwa pada tahun 2006, jumlah pabrik rokok mencapai 4.669. Akan tetapi, saat ini hanya tersisa 754 pabrik.
Ribuan pabrik rokok tutup ini juga menyebabkan lonjakan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang signifikan. Data dari Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman (FSP RTMM) menunjukkan bahwa anggota mereka berkurang sebanyak 32.729 orang dalam enam tahun terakhir akibat PHK.
Dalam upaya mencegah lebih lanjutnya kemunduran industri ini, Djoko mendesak pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang lebih adil. Salah satunya adalah memastikan bahwa tarif cukai untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) tidak lebih rendah dibandingkan dengan tarif yang berlaku untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT).
“Karena produksi SKT memerlukan banyak tenaga kerja, di mana 7.000 pelinting dapat digantikan oleh satu mesin,” katanya.
Menurut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, penerimaan cukai rokok pada tahun 2016 hanya mencapai Rp 137,96 triliun, mengalami penurunan dari Rp139,5 triliun pada tahun 2015. Penurunan penerimaan ini mencapai Rp1,54 triliun, yang signifikan.
Penurunan pendapatan cukai ini disebabkan oleh penurunan produksi industri rokok, yang turun dari 348 miliar batang menjadi 342 miliar batang, mengalami penurunan enam miliar batang sepanjang tahun lalu.
Sementara itu, untuk tahun 2017, Kementerian Keuangan memperkirakan akan terjadi penurunan produksi rokok lagi, sebesar 2,3 persen atau lebih besar dibandingkan dengan penurunan pada tahun 2016.