Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) menanggapi kontroversi rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan
Ketua GAPRINDO, Benny Wachjudi mengatakan, pihaknya setuju dan mendukung target Pemerintah untuk menurunkan angka prevalensi merokok anak. Meski begitu, revisi Peraturan dinilai bukalah sebuah jalan keluar yang tepat.
“Pada dasarnya PP 109/2012 sudah sangat memadai dan tidak perlu direvisi. Kalaupun ada yang kurang, kami menilai bukan pada aturannya sendiri, melainkan lebih kepada implementasinya, khususnya sosialisasi dan edukasi masyarakat serta penegakan peraturannya. Dapat kami tambahkan bahwa PP 109/2012 juga sudah sudah secara tegas melarang penjualan rokok kepada anak dibawah 18 tahun dan ibu hamil,” kata Benny, Selasa (13/7/2021).
“Sehubungan dengan usulan revisi terkait memperbesar ukuran gambar Kesehatan dari 40% menjadi 90%, kami berpandangan justru rencana ini berpotensi menimbulkan hal yang tidak terduga seperti meningkatknya rokok ilegal yang akan berdampak pada turunnya pendapatan negara dari pajak dan cukai,” jelas dia.
“Selain itu, penambahan luas gambar peringatan kesehatan menjadi 90%, dipastikan melanggar hak pelaku usaha untuk menampilkan merek dagang dan logo perusahaan yang dilindungi undang-undang,” tambahnya.
Benny turut menyampaikan bahwa studi yang dilakukan di negara-negara lain mengungkap bahwa perluasan peringatan kesehatan terbukti tidak dapat menurunkan prevalensi perokok anak secara efektif. Perluasan peringatan di kemasan malah membuka peluang pemalsuan. Sebab, merek dan identitas produk tidak terlihat jelas.
Sementara itu, dari hasil riset IPSOS mengungkap bahwa 32% General Trade (pedagang rokok tradisional atau warung) sama sekali tidak tahu adanya peraturan larangan penjualan rokok kepada anak-anak, karena mereka tidak pernah mendapat sosialisasi pemerintah tentang aturan tersebut. Sebagian menyimpulkan larangan itu hanya berlaku bagi pelanggan rokok, dan bukan untuk pedagang.
Bahkan, pedagang rokok tradisional tersebut juga mengira bahwa produk rokok dapat diperjualbelikan kepada siapa saja, selama rokok tersebut legal.
Ketika dilakukan kajian lebih lanjut mengenai pernah atau tidaknya para pedagang ini menjual rokok kepada anak, 34% mengaku pernah melakukan dengan asumsi bahwa rokok tersebut untuk kebutuhan orang dewasa, atau orang tua sang anak. Asumsi tersebut didasari pada pembelian rokok dalam bentuk kemasan utuh, dan bukan eceran.
Diantara mereka juga mengungkapkan, bahwa jika mereka melarang pembelian oleh anak, hal ini akan berpengaruh pada berkurangnya pendapatan.
“Dengan banyaknya pedagang rokok tradisional berlokasi di lingkungan pemukiman dan seiring dengan tujuan menekan akses anak di bawah umur kepada rokok, Pemerintah perlu melakukan suatu upaya untuk meningkatkan pengetahuan pedagang terkait regulasi penjualan rokok kepada anak, apa yang melatarbelakangi regulasi tersebut, serta menerapkan sanksi kepada para pedagang yang tetap melakukannya, kata Soeprapto Tan, Managing Director IPSOS di Indonesia.
Menyikapi hal ini, Soeprapto juga mendapati fakta dari para pedagang bahwa untuk menjadikan Peraturan ini lebih efektif diperlukan kegiatan edukasi oleh Pemerintah sebagai regulator maupun pelaku industri rokok.
Sumber: Liputan6.com
Foto: