Pengamat Kebijakan Publik “Center for Security and Welfare Studies” (CSWS) Universitas Airlangga (Unair), Gitadi Tegas Supramudyo mengatakan, perubahan revisi peraturan daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Surabaya perlu melihat sisi ekonomi.
“Artinya ada win-win solution dengan petani penghasil tembakau, disamping adanya penegakkan hukum yang tegas pada aplikasi Perda di tingkat bawah,” kata Gitadi di Surabaya.
Spirit sterilisasi lingkungan KTR dari kegiatan ‘perokokan’, dapat dipahami sebagai upaya untuk menjaga dan melindungi kesehatan para pihak yang tidak merokok. Namun demikian, apabila pengaturan KTR tidak dilakukan secara bijaksana tentu dapat berimbas langsung kepada pertumbuhan ekonomi daerah dan tenaga kerja.
Pengaturan terhadapnya perlu dilakukan secara hati-hati dan bijak dengan mengedapankan prinsip tidak saling merugikan. Artinya dalam pengaturan KTR, selain dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat namun jangan sampai pula sebagai instrumen yang mematikan masyarakat lain yang menggantungkan hidup pada aktivitas penjualan, pengiklanan, dan promosi rokok.
Dalam rangka meramu itu semua, maka dibutuhkan jalan tengah yang ideal dalam pengaturan lingkungan KTR. Ia mengatakan, keberadaan Perda KTR merupakan sebuah kebijakan yang berpihak pada kesehatan masyarakat, dan bisa menekan sikap meniru di kalangan anak-anak terhadap merokok.
Gitadi yang juga pengajar di Unair ini menekankan bahwa fokus utama Perda KTR nantinya ada pada turunannya untuk mengoptimalkan penerapannya di lapangan. Artinya, sanksi yang diberikan bagi setiap yang pelanggar harus tegas.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan seperti daerah, aturan hukum dalam wujud peraturan daerah (perda) merupakan salah satu instrumennya. Karena itu melalui perda, daerah dapat menjadikannya sebagai alat untuk mengajak masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan
“Tidak cukup Satpol PP, sebab sudah banyak dihiraukan masyarakat. Perlu pemegang kebijakan lain untuk mendorong penerapan perda ini secara efektif,” katanya.
Di sisi ekonomi, Gitadi menilai, perlu dalam penerapannya mengajak bicara pabrik rokok berskala besar di Jatim, karena harus ada kebijkasanaan sehingga keberadaan petani tembakau juga tidak dirugikan.
Ia mengatakan, dengan lokalisasi perokok diharapkan tidak menggangu masyarakat yang tidak merokok, sebab perokok pasif lebih berbahaya daripada perokok aktif.***
Sumber: BeritaJatim