THINKWAY.ID – Indonesia punya aturan-aturan tertentu yang mengatur bagaimana pemanfaatan tembakau dalam mata rantai Industri Hasil Tembakau (IHT). Salah satu peraturan tesebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 109 Tahun 2012.
PP 109/2012 berisi soal Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Terdapat wacana dan dorongan dari pemerintah untuk merevisi PP ini, padahal selama ini ekosistem pertembakauan relatif aman dengan aturan yang telah berjalan satu decade tersebut..
Poin-poin PP 109/2021 yang Direvisi
Setidaknya terdapat empat poin utama Revisi PP 109/2012, di antaranya berisi 90 persen larangan promosi, pembatasan produksi, pengaturan aktivitas tata niaga, dan aktivitas konsumen. Hal ini tentu mengkhawatirkan, karena berpotensi mengabaikan hak masyarakat di dalam ekosistem pertembakauan tersebut.
Sederhananya, jika goal, salah satu revisi tersebut mengandung klausul pembesaran gambar peringatan Kesehatan dari 40 persen menjadi 90 persen.
Wacana yang digulirkan dalam revisi ini juga berisi manfaat menurunkan prevalensi perokok anak. Padahal untuk menurunkan prevalensi perokok anak, bisa dilakukan lewat edukasi pada masyarakat melalui pendidikan formal, non formal, hingga keagamaan.
Posisi Petani Tembakau
Dorongan revisi ini dikhawatirkan akan berimbas pada mata pencahariaan 2,5 juta petani tembakau dan 1,5 juta petani cengkeh. Umumnya, petani tembakau rentan dengan nilai tawar, karena para petani digolongkan sebagai kelompok marjinal yang paling sulit mendapat akses informasi terkait revisi sebuah regulasi.
Petani sebagai pemain utama dalam mata rantai ekosistem pertembakauan, sudah sepatutnya berhak mendapat perlindungan, diberi kesempatan untuk hidup layak dan sejahtera. Dorongan revisi PP 109/2012 berpotensi mematikan mata pencaharian petani.
Belum lagi, terdapat kepentingan dan desakan dari pihak-pihak yang terang-terang anti tembakau, yang mirisnya, cukup kencang dari luar Indonesia. Seringkali, tekanan pihak-pihak tersebut kepada pemerintah bersifat eksesif, alias seringkali melebihi kapasitas dan kewenangannya.
Pemerintah diharapkan tetap netral dalam pengambilan keputusan, dengan pertimbangan utama sekian juta masyarakat Indonesia yang menggantungkan hidup dari industri pertembakauan. Seperti yang diketahui, industri tembakau merupakan salah satu komoditas unggulan nasional.
Satu hal yang juga disorot adalah, beberapa peraturan daerah (perda) soal pembatasan rokok, misalnya yang sudah diterapkan di Depok dan Bogor, justru melampaui ketentuan regulasi pusat, dalam hal ini PP 109/2012.
Dorongan revisi PP ini seharusnya bisa dilihat sebagai sesuatu yang sarat kepentingan, mulai dari penerimaan cukai pada negara, penyerapan tenaga kerja, dan terakhir yang paling penting, kesejahteraan petani tembakau.
Ketika sudah jelas bahwa petani sebagai subyek utama, bisa dijadikan modal utama pertimbangan dorongan revisi yang adil dan berimbang. Pelibatan ekosistem pertembakauan dalam pembuatan revisi mutlak wajib dilakukan, agar ada jalan tengah dalam hasil yang akan dicapai.
Dengan tak menutup mata pada aspek lain seperti keterlibatan serikat pekerja dan konsumen produk tembakau khususnya rokok, dorongan revisi ini wajar dikritik sebagai bentuk partisipasi dan pelibatan komponen ekosistem IHT, agar hasilnya mampu mengakomodir kepentingan komponen-komponen tersebut.
Apalagi, industri pertembakauan baru mulai pulih dari dampak pandemi Covid-19.
Kearifan Lokal Pertanian Tembakau
Dikhawatirkan, revisi PP 109/2012 bukan hanya akan menghanguskan pertanian tembakau, tetapi juga sektor religi dan budaya. Faktor kearifan lokal juga musti dipertimbangkan, misalnya yang terjadi di beberapa daerah pertanian tembakau, untuk membangun tempat ibadah seperti masjid serta merawat aktivitas seni-budaya, masih mengandalkan iuran panen tembakau.
Akvitas seni-budaya ini punya hubungan erat dengan petani, karena dalam proses menanam tembakau, sejatinya bukan hanya sekadar aktivitas menanam sebuah tumbuhan tapi mengandung ritual.
Saat setiap mulai proses menanam dan panen raya, hampir selalu ada unsur ritual selametan. Bisa disimpulkan, ini bukan hanya sekedar bertani, namun juga sebuah pengharapan akan masa depan. Rasanya kurang elok kalau faktor-faktor ini diabaikan.