THINKWAY.ID – Masalah data, baik secara kuantitas maupun kualitas, adalah kelemahan yang harus segera kita perbaiki. Masih dalam skala pengumpulan dan pengolahan data, Indonesia masih sangat kurang. Belum lagi kita berbicara big data sampai kebocoran data. Tentu ini menjadi PR kita semua. Di seluruh lini, diperlukan kompetisi SDM, regulasi, peraturan pelaksana dan tentunya niat sungguh-sungguh seluruh lintas sektoral.
Lalu apa hubungannya dengan perokok anak? Kita dapat berkaca pada data prevalensi perokok anak, di mana ada perbedaan antar lembaga yang merilis data. Kementerian Kesehatan keukeuh menjadikan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) sebagai acuan yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan prevalensi merokok penduduk umur 10 Tahun dari 28,8% pada tahun 2013 menjadi 29,3% pada tahun 2018. Disebutkan bahwa terjadi prevalensi merokok pada populasi usia 10 hingga 18 Tahun yakni sebesar 1,9% dari tahun 2013 (7,2%) ke tahun 2018 (9,1%).
Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat prevalensi merokok di kalangan anak-anak berusia 18 tahun ke bawah terus merosot dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2022, terdapat 3,44 persen anak berusia 18 tahun ke bawah yang merokok. Presentase ini turun secara konsisten dibandingkan pada tahun 2018 yang bahkan mencapai 9,65 persen.
Sebagai lembaga resmi yang ditunjuk Presiden, BPS bertanggungjawab menyediakan kebutuhan data bagi pemerintah dan masyarakat. Termasuk membantu kegiatan statistik di departemen, lembaga pemerintah atau institusi lainnya. BPS pun dalam laporannya turut mengintegrasikan data Riskesda. Bahkan sebagai pusat statistik, data BPS menjadi rujukan untuk pembangunan (rujukan utama dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan).
Ketika berkaitan dengan angka prevalensi perokok anak, yang erat dengan pembangunan sumber daya manusian (SDM) demi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), lalu mengapa bisa ada perbedaan acuan data yang digunakan olehkementerian/lembaga terkait? Apakah data tidak valid, ada unsur ikompetensi atau ego sektoral?
Jangan Sampai Tebang Pilih Data
Sudah menjadi sebuah pengetahuan umum bahwa dalam metode pengumpulan dan pengolahan data sangat penting untuk memastikan kebenaran dan relevansi data (validasi). Ketika acuan data yang digunakan dua lembaga negara menjadi sangat berbeda, lantas wajar jika muncul keraguan terhadap keakuratan data yang akan dihasilkan. Begitu juga pada proses pemeriksaan data (verifying) yang ujungnya akan mempengaruhi apakah suatu data terdapat kesalahan atau tidak.
Harapannya tentu jangan sampai ada proses tebang pilih data. Walaupun dalam sebuah penelitian, menjadi sebuah hal yang wajar untuk meringkas, mengghapus data yang sekiranya kurang relevan dengan riset yang dilakukan. Sehingga datanya menjadi lebih teratur dan tidak berantakan. Tebang pilih data yang dimaksud di sini adalah mengolah hingga menyajikan data semata demi mendukung tujuan sendiri. Atau dalam hal ini tebang pilih data demi pembenaran dan pencapaian target kinerja.
Pemerintah harus mampu memastikan memiliki data yang valid sebagai dasar perumusan kebijakan yang tepat. Perbedaan data antar kementerian / kelembagaan berpotensi menimbulkan data yang tidak valid. Padahal data yang valid menentukan keputusan yang akan diambil agar tepat dan berkeadilan. Sementara menggunakan data yang tidak valid berpotensi menimbulkan kebijakan yang tidak tepat sasaran dan tepat guna.
Maka kembali pada kebijakan dan regulasi terkait penurunan prevalensi perokok anak, apakah sudah tepat sasaran dan tepat guna?