Banyak Pemerintah Kabupaten/Kota tidak mengetahui atau diduga tidak mengerti kegunaan pajak rokok, selain Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang diterima setiap tahun.
Hingga saat ini muncul anggapan bahwa penggunaan serta pengelolaan kedua dana tersebut dianggap tidak transparan terhadap publik atau memang sengaja ditutup-tutupi demi bagi hasil dilingkungan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) saja.
Padahal, pajak rokok itu merupakan pungutan oleh pemerintah sebesar 10 persen dari nilai cukai rokok. Pungutan ini berpijak pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang berlaku sejak Januari 2014 lalu. Namun, dalam implementasinya dana pajak rokok daerah ternyata output-nya belum optimal. Karena masih banyak daerah yang belum memiliki pemahaman dan persepsi yang sama tentang tujuan dan peruntukan dari pajak ini.
Pajak rokok ini tidak sama dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) lainnya, yang bisa digunakan semua OPD untuk membiayai anggaran pembangunan mereka.
Pajak rokok ini terlahir karena dipandang perlu ada penerapan pajak yang lebih adil kepada seluruh daerah, supaya memiliki sumber dana yang memadai untuk mengendalikan dan mengatasi dampak negatif rokok.
Sedangkan daerah yang mendapatkan DBHCHT bukan hanya daerah penghasil rokok dan penghasil tembakau.
Hampir sebagian besar OPD yang terlibat hanya memahami DBHCHT. Akibatnya beberapa daerah yang memang bukan penghasil tembakau beranggapan wajar tidak bisa memanfaatkan dana kompensasi tembakau untuk mendanai pembangunan kesehatan di daerah mereka. Walau regulasi sudah ada dan mengatur semuanya, di tingkat pelaksanaan dinilai masih banyak persoalan.
Seperti diungkapkan oleh Sekretaris KOMunitas Pers Independen (KOMPI) Lumajang, Achmad Fuad Afdlol, bahwa Propinsi Jawa Timur menerima DBHCHT sebesar Rp. 1,6 triliun atau 50,47 persen dari alokasi DBHCHT dalam Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) 2019, yakni Rp. 3,17 triliun.
Sedangkan untuk Kabupaten Lumajang sendiri, kata Achmad, mendapatkan kucuran DBHCHT 2019 sebesar Rp. 18.747.561.000, namun pembagian di masing-masing OPD tidak diketahui berapa besarnya dan peruntukannya.
“Yang paling kelihatan ada kegiatannya, saat hanya di Dinas Kesehatan dan Dinas Komunikasi dan Informasi serta Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi. Untuk OPD lainnya kami tidak mengetahui besaran dan peruntukannya,” ungkapnya.
Soal problematika penggunaan dana pajak rokok dan DBHCHT di Kabupaten Lumajang, adalah hanya terkait dengan transparansi penyaluran dana.
“Menyoroti masalah ini, kami melihat masih belum adanya pemahaman yang sama di semua OPD, dan stakeholder lainnya tentang penggunaan dana tersebut, sehingga alokasi penggunaan dana bisa tidak tepat guna sesuai amanah PMK Nomor 222 Tahun 2017,” pungkasnya.
Selama ini OPD yang telah menggunakan dana DBHCHT dan dana Pajak Rokok sesuai petunjuk teknis pelaksanaannya dari Kemenkeu, namun tidak pernah ada publikasi melalui media massa atau media publikasi lainnya.
Jadi berbagai kebijakan pemerintah pusat terkait penyaluran dan pemanfaatan dana pajak rokok dan DBHCHT dalam membangun kesehatan masyarakat belum optimal sesuai peruntukannya, terutama dalam implementasinya.
Padahal setiap tahun penerimaan DBHCHT itu selalu meningkat. Hal ini pernah disampaikan mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Setda Lumajang, Nugroho Dwi Atmoko, bahwa sesuai dengan pesan WhatsApp nya menuliskan kalau sesuai Pergub Jatim Nomor 89 Tahun 2017 pagu anggaran DBHCHT Kabupaten Lumajang Tahun 2018 sebesar Rp. 16.843.018.000.
Dan menurutnya, Silpa ada tiap tahunnya, biasanya dari sisa kontrak atau dari anggaran OPD yang tidak terserap atau tidak dilaksanakan.
Namun ketika ditanya berapa besarannya Silpa, Nugroho sempat melontarkan kalau pihaknya belum mengetahui dan itu belum dievaluasi oleh Kemenkeu.
“Untuk pemanfaatan dana Silpa menunggu evaluasi dari Kemenkeu dan peruntukannya sesuai dengan ketentuan di Permemkeu Nomor 222 Tahun 2017,” ujarnya.***
Sumber: SuaraIndonesia