THINKWAY.ID – Belakangan ini banyak orang memperbincangkan resesi. Barangkali banyak dari kita yang sudah akrab dengan istilah tesebut. Tapi, tak sedikit juga dari kita yang belum memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan hal tersebut.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), resesi adalah suatu kondisi saat ekonomi sebuah negara sedang memburuk. Indikasinya, telihat dari produk domestik bruto (PDB) negatif, meningkatnya angka pengangguran, kemudian pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama triwulan pertama dan kedua, berturut-turut.
Resesi sebenarnya sebuah siklus yang normal dalam bisnis perekonomian negara, alias tak terhindarkan. Penyebabnya antara lain hutang negara yang menumpuk, terlalu banyak inlasi dan deflasi, serta guncangan ekonomi mendadak, contohnya faktor force majeure seperti wabah Covid-19.
Ketika sebuah negara terkena resesi, maka akan tejadi dampak yang tak tehindarkan, seperti terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), para investor cenderung menahan dana, dan pelemahan daya beli masyarakat.
Penting untuk memahami resesi, terutama untuk kalangan milenial. Di Amerika Serikat (AS), milenial dituding menjadi salah satu penyebab inflasi. Hal ini ditengarai karena milenial di AS cenderung mengalokasikan pendapatannya untuk membeli rumah, kendaraan, dan aset lainnya yang bernilai besar. Ternyata ini turut mendorong kenaikan harga di AS, sehingga timbul inflasi.
Bagaimana dengan Indonesia? Kecenderungan jiwa muda di Indonesia agak berbeda. Alvara Research, dalam sebuah studinya yang bertajuk Indonesia Gen Z and Millenial Report 2020 menyebutkan bahwa sebagian urban milenial berbagai kota Indonesia kesulitan menabung dan berinvestai. rata-rata pengeluaran bulanan adalah 57% dari total pendapatan. Sisanya dihabiskan untuk pemenuhan gaya hidup, seperti traveling, pembelian barang-barang tersier, dan healing dalam berbagai bentuk aktivitas.
Dengan menganalisa masalah-masalah tersebut, kiranya kalangan milenial bisa bersiap agar tak terlalu terimbas oleh resesi. Langkah apa yang bisa milenial lakukan untuk merespon hal ini?
Menabung dan melakukan investasi. Menabung adalah tindakan paling masuk akal yang bisa dilakukan. Kalaupun sudah dimulai, mungkin jumlahnya bisa mulai ditingkatkan. Jika keuangan memungkinkan, bisa mulai melirik investasi. Bentuknya disesuaikan dengan kondisi keuangan, mulai dari logam mulia, deposito, saham, obligasi, dan reksadana.
Atur pengeluaran dengan bijak. Kalangan jiwa muda identik dengan lapar mata, alias seringkali terjebak dalam hasrat kebendaan, yang seringkali pula, sebenarnya tak terlalu dibutuhkan. Menetapkan skala prioritas untuk membeli barang atau menahan diri untuk traveling adalah langkah termudah agar dana cadangan kita menjadi lebih besar.
Menyiapkan dana darurat. Beda dengan tabungan, dana darurat diperuntukkan untuk keperluan mendesak seperti sakit, dan misalnya kecelakaan yang tak bisa kita prediksi. Dana darurat umumnya disiapkan agar seseorang bisa mengeluarkan uang tak terduga tanpa mengandalkan pemasukan atau berhutang. Salah satu rumus pakem besaran dana darurat yang bisa diadopsi adalah, jumlahnya sebanyak 6 kali total pengeluaran dalam satu bulan.
Menormalisasi zero credit. Karena kondisi tertentu, berhutang banyak dilakukan milenial untuk pemenuhan kebutuhan baik itu penting atau yang kurang penting. Barangkali tak mudah, tapi sebisa mungkin untuk tak berhutang adalah langkah bijak. Hindari penggunaan kartu kredit, atau menahan diri untuk tak terjebak dengan pinjaman online.
Melakukan pekerjaan sampingan. Kalau memungkinkan, bisa mulai memikirkan untuk menghasilkan pendapatan tambahan lewat pekerjaan sampingan. Hal ini tak melulu pekerjaan yang sifatnya mengiikat. Merintis usaha kecil misalnya, atau menjual jasa sesuai dengan minat.