THINKWAY.ID – Indonesia dikenal sebagai negeri penghasil rempah-rempah dunia. Saking terkenalnya kekayaan rempah di Indonesia, sampai-sampai bangsa kolonial hadir menjajah Indonesia untuk menguasainya. Salah satu yang paling di cari dari jenis rempah tersebut adalah cengkeh, tanaman endemik asli Indonesia.
Setelah berabad-abad lamanya bangsa Eropa melacak jejak pelayaran menuju Nusantara, sumber dari rempah-rempah yang laris-manis diperdagangkan di Eropa. Barulah pada abad ke-16 bangsa Eropa menjajaki tanah Nusantara dan mulai mengangkut cengkeh ke Eropa secara langsung. Bahkan komoditas ini disebut sebagai emas hitam karena nilai komoditasnya yang tinggi, setara dengan emas.
Cengkeh (syzygium aromaticum) adalah tanaman rempah endemik asli Indonesia. Tanaman ini berasal dari kepulauan Maluku, sebuah tempat yang memiliki peran strategis dan tanah subur guna membudidayakan secara komersial serta salah satu unggulan ekspor komoditi perkebunan. Cengkeh tergolong tanaman tropis yang hasilnya amat bisa dirasakan setelah ia berumur empat sampai lima tahun.
Cengkeh banyak dimanfaatkan untuk bahan penguat rasa dan aroma pada makanan, minuman, industri farmasi, kosmetik, dan obat herbal. Segudang manfaat cengkeh membuat komoditas ini terkenal di pasar mancanegara.
Namun, fase kejayaan cengkeh di pasar pernah mengalami masa suram. Terutama ketika mesin pendingin ditemukan dan obat-obatan berbahan kimia mulai menggeser cengkeh dari pasar. Pada masa suram tersebut, harga jual cengkeh turun drastis, ladang-ladang cengkeh mulai ditinggalkan, dan permintaan pasar akan cengkeh mulai sepi.
Dalam perkembangannya di Indonesia, cengkeh dimanfaatkan sebagai bahan baku dari produk hasil tembakau khas Indonesia bernama kretek. Pada abad ke-20, tepatnya 1906 ketika kretek mulai tumbuh menjadi industri berkat Nitisimeto, serapan cengkeh nasional dimaksimalkan untuk industri kretek hingga saat ini.
Dengan kembali bergairahnya cengkeh dalam serapan pasar nasional, para petani cengkeh mulai kembali ke ladang-ladang untuk menanam kembali cengkeh. Harga jual cengkeh pun mengalami peningkatan pasca lesunya pasar mancanegara dalam menyerap komoditas cengkeh. Tak hanya itu, dengan semakin berkembangnya industri kretek nasional, gairah ekonomi nasional pun turut bergairah, terbukti dengan tetap bertahannya industri kretek dari situasi krisis ekonomi.
Produksi cengkeh nasional hingga saat ini berjalan stabil, meskipun sempat mengalami fluktuasi dan ketidakpastian akibat kebijakan politik yang tidak menguntungkan komoditas cengkeh, seperti pada kasus monopoli perdagangan cengkeh oleh BPPC (Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh) yang mengakibatkan hancurnya tata niaga cengkeh nasional.
Lalu perkembangan berikutnya, setelah dibubarkannya BPPC, tata niaga cengkeh kembali membaik. Pasca krisis ekonomi (1998), industri hasil tembakau mengalami peningkatan yang signifikan sehingga berdampak pada meningkatnya kebutuhan cengkeh serta mulai membaiknya harga jual cengkeh.
Hal ini menyebabkan petani di beberapa daerah mulai tertarik untuk melakukan peremajaan tanaman cengkeh yang rusak/mati sehingga menginjak tahun 2001 mulai nampak adanya perluasan areal meskipun pertumbuhannya masih sangat lambat. Selama periode 1998-2013 total luas area cengkeh meningkat yaitu sebesar 0,48% per tahun.
Serapan pasar terhadap cengkeh selama tahun 1993-2013, berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) oleh BPS masih sangat stabil yaitu 0,05 kg/kapita/tahun, dan menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, hampir 80-90% produksi cengkeh dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan industri rokok sementara sisanya dipergunakan untuk farmasi, kosmetik, dan rempah-rempah.