THINKWAY.ID – Wilayah kepulauan di Indonesia memiliki keragaman budaya dari berbagai suku bangsa. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010 lalu, ada lebih dari 300 kelompok etnik atau sebanyak 1.340 kelompok suku bangsa di Indonesia. Terbentuknya adat istiadat di lingkungan masyarakat desa menjadi suatu hal yang penting karena dengan adat istiadat maka segala aturan dan norma-norma kehidupan telah di atur di dalamnya. Sehingga dengan adanya adat istiadat maka kehidupan masyarakat di desa dapat berjalan selaras sesuai dengan apa yang diharapkan.
Upacara-upacara spiritual itu biasa dilakukan sebagai usaha memanjatkan doa salah satunya adalah selamatan sebagai bentuk rasa syukur karena melimpahnya hasil panen. Ungkapan doa yang dibacakan secara bersama-sama diyakini memiliki kemungkinan lebih besar untuk terkabul ketimbang doa yang dibacakan sendiri. Seperti di pedesaan pada umumnya, masyarakat di desa mengenal dan memiliki banyak ritual keagamaan dalam bentuk upacara-upacara spiritual.
Tembakau sebagai salah satu komoditi besar, tembakau telah membentuk akar tradisi sebagaian besar masyarakat di Indonesia. Sebagian petani tembakau selama ini telah melakoni sejumlah ucara spiritual menyangkut masa depan kehidupan mereka. Demi kebaikan tanaman, berdoa agar hasil panen bagus, berkualitas dan harga tidak anjlok.
Berikut beberapa tradisi yang diulas redaksi Thinkway.id dari berbagai sumber seputar tradisi-tradisi terkait tembakau:
Tradisi Petani Tembakau Demak: Haul Mbah Hadi
Masyarakat Demak, khususnya warga Dusun Girikusumo, Desa Banyumeneng telah rutin mengadakan kegiatan thariqah yang dipimpin tokoh kharismatik Kyai Munif Zuhri setiap Kamis malam. Jamaah thariqah ini bernama Thariqah Khalidiyah Naqsabandiyah yang sebagian besar jamaahnya konon adalah para petani tembakau setempat. Kegiatan thariqah ini berada di Pesantren Giri Kusumo pimpinan Kyai Munif yang konon sering didatangi Gus Dur. Beberapakali bahkan pernah didatangi Megawati dan Jusuf Kalla.
Keberadaan thariqah itu secara tidak langsung telah membentuk kultur petani setempat, selain karena para petani yang umumnya telah akrab dengan dunia pesantren. Menjelang musim tanam, para petani biasanya akan mengadakan mayoran dengan para santri Girikusumo pimpinan Kyai Munif Zuhri. Di situ, para petani dan santri akan mengadakan makan dan doa bersama untuk kelancaran tanaman mereka hingga musim panen tiba.
Menurut sumber sejarah, pesantren Giri Kusumo didirikan oleh Mbah Hadi pada 1868, usia yang cukup tua. Hingga kini, setiap bulan Rajab rutin diperingati haul Mbah Hadi. Belakangan, masyarakat sekitar pesantren, seperti Banyumeneng dan Sumberejo, memiliki keyakinan bahwa cuaca saat perayaan Haul Mbah Hadi akan menentukan cuaca pada musim panen tembakau. Jika hujan turun saat perayaan haul, maka hujan juga diyakini akan turun saat musim panen tiba. Pula sebaliknya. Selain itu, merekak juga meyakini jika tahun ganjil akan membawa keberuntungan pada harga jual yang tinggi pada tembakau.
Tradisi Petani Tembakau Sumedang: Upacara Hajat Bumi
Meski orientasi politik mereka lebih dekat dengan ‘abangan’, masyarakat Kabupaten Sumedang, khususnya warga Kecamatan Ujung Jaya dan Tanjungsari, memiliki kultur keagamaan yang mengikuti tradisi NU. Mereka mengadakan tahlilan, mauludan, yasinan, diba’an, hadrah, dan lain sebagainya. Mereka juga meyakini, terdapat beberapa tempat yang dianggap ‘keramat, seperti makam atau sumur.
Lantaran kultur keagamaan itu, masyarakat petani tembakau Sumedang memiliki upacara sipritual yang dikenal dengan Hajat Bumi. Upacara itu rutin diadakan sekali dalam setahun menjelang musim tanam tiba. Acara akan dipimpin oleh juru kunci makam. Ada dua lokasi dimana upacara Hajat Bumi diadakan: di Makam Keramat Jaya dan Makam Mbah Buyut Chasun.Meski awalnya ditentang oleh sebagian masyarakat sekitar karena mengandung unsur syirik, belakangan model upacara itu diubah, yakni dengan pembacaan tawassul (berwasilah) atau ayat-ayat Quran yang dipimpin oleh kyai-kyai NU.
Tradisi Petani Tembakau Temanggung: Menghitung Hari, Mencari Hari Baik
Masyarakat Kabupaten Temanggung, khususnya mereka yang bertalian dengan bertani, khususnya petani tembakau, meyakini satu hal: setiap memulai suatu pekerjaan seperti mencangkul, menanam, memanen, dimulai dengan perhitungan hari. Perhitungan hari ini adalah perpaduan dari kalender Jawa dan Masehi. Ada hari-hari baik yang diyakini sebagai hari baik berdasarkan hari neptu-nya.
Petani tembakau biasanya memulai masa mencangkul dengan ritual nyecel, yaitu membuat nasi golong yang didoakan di rumah kemudian dibawa ke tegal atau tanah yang lapang. Di salah satu daerah, ritual ini biasa dilakukan pada Selasa Legi. Nasi yang telah didoakan biasanya dimakan oleh para pekerja yang akan mencangkul.
Sementara ritual yang dilakukan sebelum menanam dikenal nglekasi, yakni dengan menyajikan jajan pasar, ketan hitam, atau makanan lainnya. Prosesinya berbeda-beda setiap daerah. Namun prinsipanya, makanan itu biasanya harus dinikmati oleh masyarakat setempat.
Selain itu, ada pula ritual yang dilakukan sebelum panen, biasa disebut wiwit, yakni dengan menyajikan makanan dalam bentuk ingkung (ayam dimasak utuh) untuk satu lahan. Jika petani memiliki tiga lahan yang terpisah, maka petani menyajikan tiga ingkung. Ritualnya berbeda, ada yang didoakan di rumah lalu dibawa ke sawah. Ada pula yang didoakan di sawah. Biasanya ritual ini dilakukan selepas maghrib atau saat matahari tenggelam.