Thinkway Logo

INDEF: Kenaikan Cukai Rokok di 2022 Bisa Perlambat Pemulihan Ekonomi

Pemerintah diminta tidak sembarangan memutuskan kenaikan cukai rokok di tahun 2022. Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, mengatakan tahun depan ekonomi Indonesia masih fase pemulihan.

Untuk itu, ia meminta kenaikan cukai tahun depan perlu mempertimbangkan aspek pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19. Tauhid khawatir kenaikan cukai malah berimbas negatif ke pemulihan ekonomi.

“Saya kira menarik bahwa rokok itu nomor 2 konsumsinya gitu, fase pemulihan ini ketika dituntut (harga cukai) naik saya khawatir ini kontraproduktif terhadap upaya pemulihan (ekonomi) karena konsumsi justru nomor 2, saya kira kekhawatiran kita malah justru lebih lambat pemulihannya,” kata Tauhid dalam program Akurat Solusi Tema: Reformulasi Kebijakan Cukai Rokok & Masa Depan Industri Hasil Tembakau di Hotel Bidakara Jakarta, belum lama ini.

Selain itu, Tauhid merasa perlu dirumuskan formula baku dalam memutuskan kenaikan cukai rokok. Formula tersebut dengan tetap memperhatikan dimensi pengendalian atau kesehatan, tenaga kerja, penerimaan negara, peredaran rokok ilegal, dan petani tembakau dengan mempertimbangkan data update setiap tahunnya.

“Kalau ada formula mungkin bagi siapa pun, bagi pemerhati kesehatan juga keterwakilan variabel penting juga, ke perusahaan juga bagaimana menyikapi strategi pasarnya gitu,” ujar Tauhid.

“Perlu konsistensi dalam pelaksanaan penerapan formula atau dimensi sehingga dapat memberikan kepastian bagi kesehatan, dunia usaha, maupun masyarakat,” tambahnya.

Tauhid menganggap kenaikan cukai rokok juga bakal berimbas ke industri dan penyetoran ke kas negara. Sehingga tarif cukai tersebut di 2022 harus diperhitungkan secara matang.

“Artinya memang industri hasil tembakau ini industri yang sangat diatur sebuah regulasi. Jadi maju tidaknya IHT, seberapa jauh pemerintah mengaturnya, termasuk mengendalikan berapa persen kenaikan tarif cukai di 2022 mendatang,” tutur Tauhid.

Peneliti FEB Unpad Dr Wawan Hermawan menyebut, rata-rata prevalensi merokok usia 15 tahun ke atas di negara-negara OECD adalah sebesar 17,1 persen dan untuk OECD untuk usia 6 tahun ke atas adalah sebesar 17,4 persen. Mayoritas negara dalam pengamatan menunjukkan trend penurunan dalam prevalensi merokok untuk usia 15 tahun ke atas termasuk Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan rata-rata prevalensi merokok untuk usia 15+ yang lebih tinggi dari pada rata-rata OECD dan OECD 6+.

“Kenaikan harga cukai rokok di Indonesia sudah berhasil menurunkan prevalensi merokok, sehingga peningkatan rokok yang terlalu tinggi dikhawatirkan bisa menyebabkan perubahan konsumsi pada jenis rokok yang lebih murah (subtitusi/ rokok ilegal), alhasil bisa meningkatkan prevalensi merokok akibat mengkonsumsi rokok yang lebih murah,” ujarnya.

Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat Badan Pusat Statistik (BPS) Ahmad Avenzora mengakui, masih ada sebanyak 1,55 persen pada tahun 2019 dan 1,58 persen pada tahun 2020 anak usia 5-17 tahun yang merokok selama sebulan terakhir. Penduduk berumur 30 tahun ke atas menjadi kelompok yang paling banyak dalam merokok sebulan terakhir.

Sekitar 3 dari 10 penduduk berumur 30 tahun ke atas merokok selama sebulan terakhir, yakni 51 persen tahun 2019 dan 31,10 persen tahun 2020.

Rata-rata konsumsi rokok dan tembakau per kapita seminggu untuk jenis rokok filter adalah yang terbesar, baik tahun 2019 maupun tahun 2020 yaitu 12,56 batang dan 12,34 batang.

“Rata-rata pengeluaran rokok dan tembakau per kapita seminggu untuk jenis rokok kretek filter adalah yang terbesar baik tahun 2019 maupun tahun 2020 yaitu Rp 12.876 dan Rp 13.424, ” ucapnya.

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan berharap kebijakan relaksasi industri ini berlanjut. Pihaknya merekomendasikan kepada pemerintah untuk dilakukan strategi kebijakan extra ordinary guna memberantas rokok ilegal.

“Berharap Pemerintah bersimpati dan empati pada industri dengan memberikan relaksasi di 2022 dan melihat kemungkinkan untuk tahun 2022 tidak ada kenaikan cukai dan tidak ada lagi kebijakan yang memberatkan industri tembakau,” terangnya.

Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai, Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Akbar Harfianto menyatakan, pertimbangan kebijakan cukai hasil tembakau didasari pada landasan empat pilar kebijakan meliputi pengendalian konsumsi (aspek kesehatan), peredaran rokok ilegal, keberlangsungan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan negara.

Total beban pajak atas rokok di Indonesia mencapai 62 persen termasuk Cukai, PPN, dan Pajak Rokok mendekati rata-rata beban pajak di negara berpendapatan tinggi.

“Pada tahun 2020, penerimaan cukai HT terhadap perpajakan mengalami kenaikan menjadi 13,2 persen, dimana rata-rata proporsi penerimaan cukai HT sebesar 10,2 persen,” jelasnya. (Sumber berita: kumparan)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.