THINKWAY.ID – Ekosistem pertembakauan tengah menghadapi tekanan akibat kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kenaikan cukai ini tidak hanya mempengaruhi produktivitas industri rokok, tetapi juga berdampak pada penerimaan negara dan ancaman pemutusan hubungan kerja bagi para pekerja.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO), Benny Wachjudi, mengungkapkan bahwa kenaikan cukai rokok yang tinggi telah menekan produktivitas industri rokok nasional. Pada tahun 2019, produksi rokok mencapai 357 miliar batang, sementara pada tahun 2023 turun menjadi 318 miliar batang.
“Produksi rokok putih turun dari 15 miliar batang menjadi kurang dari 10 miliar batang. Secara keseluruhan, ekosistem pertembakauan mengalami penurunan produksi dari 350 miliar batang sebelum pandemi COVID-19 menjadi di bawah 300 miliar batang setelah pandemi,” jelasnya kepada media.
Benny menambahkan bahwa penurunan produksi ini juga berdampak pada realisasi penerimaan negara dari CHT. Hal ini tercermin dalam tren penerimaan APBN yang menurun dibandingkan periode sebelumnya. Pada tahun 2023, penerimaan negara dari CHT mencapai Rp213,48 triliun, hanya 97,78% dari target APBN 2023. Padahal, sebelumnya penerimaan cukai dari rokok selalu mencapai atau bahkan melebihi target.
Kondisi ini berlanjut hingga tahun ini. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), penerimaan negara dari segmen cukai hingga April 2024 mengalami koreksi sekitar 0,5% year-on-year menjadi Rp74,2 triliun. Penurunan ini terutama disebabkan oleh merosotnya penerimaan CHT yang berkontribusi 96% dari keseluruhan penerimaan cukai.
Selain itu, Benny menyatakan bahwa melemahnya produksi rokok dan penerimaan negara tidak diikuti oleh penurunan jumlah rokok di pasaran. Konsumen malah beralih ke rokok dengan harga lebih murah atau rokok ilegal yang semakin marak.
Pengamat Kebijakan Publik, Bambang Haryo Soekartono, menambahkan bahwa cukai rokok yang tinggi memiliki dampak berganda pada masyarakat, termasuk menurunkan pendapatan UMKM yang bergantung pada penjualan rokok.
“Warteg, warkop, dan sebagainya sangat bergantung pada penjualan rokok. Jika harga rokok mahal, pendapatan mereka akan tergerus karena menurunnya daya beli rokok,” jelasnya.
Bambang juga mengkhawatirkan bahwa tingginya tarif CHT akan mengancam stabilitas pabrik-pabrik rokok di Indonesia dan nasib karyawan di ekosistem pertembakauan yang mencapai 5,8 juta jiwa. Dampaknya akan meluas ke lingkungan sekitar.
“Jika ekosistem pertembakauan tergerus, dampak lingkungannya lebih dari 5,8 juta karyawan. Misalnya, tempat tinggal dan makan mereka juga akan terdampak. Belum lagi para petani tembakau pasti terkena dampak,” ungkapnya.
Bambang berharap agar cukai rokok tidak lagi mengalami kenaikan yang signifikan pada tahun depan. Menurutnya, kenaikan cukai double digit tidak relevan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang masih di bawah 10%.
“Pertumbuhan ekonomi masih di kisaran 5%, sementara cukai rokok naik di atas 10%. Dampak inflasinya besar. Kenaikan 10% cukai membawa inflasi tinggi,” terangnya.
Ke depan, Bambang meminta pemerintah menetapkan kebijakan cukai yang ideal dan berimbang dengan melibatkan diskusi berbagai pihak terdampak sebelum menetapkan tarif cukai.
“Pemerintah seharusnya berdiskusi dengan perwakilan masyarakat, seperti asosiasi pengguna dan pengusaha rokok. Kenaikan tarif cukai harus dibahas bersama masyarakat, bukan ditentukan sepihak,” tutupnya.