THINKWAY.ID – Hal yang paling sering memicu kritik dan komentar miring soal perokok adalah perilaku perokok itu sendiri. Kalian para perokok jangan dulu marah. Yang dimaksud adalah perilaku sebagian perokok, bukan semuanya. Harus diakui, masih ada banyak perokok bandel. Mereka-mereka inilah yang membuat stigma negatif pada perokok semakin lestari.
Perokok bandel adalah perokok yang minim sensitivitas dan kepekaan sosial. Suka merokok di sembarang tempat. Misal, sambil mengendarai motor atau mobil hingga abu dan bara rokoknya mengancam pengendara lain di belakangnya. Ada juga yang merokok di transportasi umum, bikin penumpang lain kibas-kibas tangan di depan wajahnnya. Ada pula yang merokok di toilet umum, hingga ruangan penuh asap dan aromanya tertinggal. Bayangin aja, aroma bekas BAB kolabs dengan asap rokok. Amsyong banget kan, Genks?
Semoga kita dijauhkan dari sifat konyol itu. Jadi, jangan ragu untuk menegur sesama perokok yang kalian temukan minim sensitifitas dan kepekaan sosial seperti itu.
Tapi, selain para perokok bandel itu, masih banyak juga perokok yang bijak melihat situasi dan kondisi sebelum memutuskan untuk nyebats. Perokok model ini biasanya akan memastikan dulu bahwa aktivitas merokoknya dilakukan di ruang dan waktu yang tepat, memastikan asap dan limbah rokoknya tidak akan mengusik kenyamanan orang lain.
Nah, perokok semacam itu yang harus dijadikan sebagai role model. Merekalah yang jadi alasan perokok masih kerap dianggap insan yang asyik dan menyenangkan.
Lha, betapa tidak, datang ke warung kopi, bertemu dengan orang yang tidak dikenal, tapi bisa ngobrol panjang kali lebar, bahkan mungkin sampai berteman secara personal. Perokok akrab banget dengan fenomena itu. Jangankan itu, jika di momen yang tepat, sekadar meminjam korek saja bisa berlanjut dengan obrolan basa-basi menawarkan rokok, kemudian sampai pada pembahasan strategi kampanye politik Donald Trump, tau-tau sudah diskusi asal-usul alam semesta. Gak percaya? Saya buktinya.
Bertukar pikiran dengan perokok itu seru. Sumpah. Perokok identik dengan ide, gagasan, dan karya. Contohnya ada banyak musisi, perupa, sastrawan, dan penggede lain yang merokok. Sering cari inspirasi dengan nyebats. Bahkan, sastrawan termasyhur, Pramoedya Ananta Toer itu jadi pengarang dimulai dari melamun, minum kopi dan merokok. Pram mendapat pencerahan itu karena rokok dan kopi.
“Lebay! Itu mah akal-akalan perokok aja,”
“Alaaaaah, ngarang. Kata siapa?”
Doktor ekonomi politik lulusan Rusia, Soesilo Toer, yang bilang demikian. Siapa dia? Adik kandung Pram.
Berteman dengan perokok itu asyik. Perokok itu cenderung punya sikap yang terbuka dengan siapa saja. Apalagi jika dengan sesama perokok. Memulai percakapan, bertukar afektif, hinggan menjalin hubungan interpersonal adalah perkara sederhana bagi sesama perokok.
Nah, buat para non perokok, jangan buru-buru memutuskan untuk menjaga jarak dengan perokok. Tentu bukan jarak fisik yang saya maksud. Dalam konteks sosial, tidak sedikit kok non perokok yang bersahabat erat dengan seorang perokok. Bisa dibilang tanpa jarak. Gak percaya? Saya buktinya.
Saya seorang perokok dan bersahabat erat dengan seorang non perokok. Selain saya, banyak juga cowok perokok yang punya pacar non perokok. Vice versa, cowok gak merokok tapi punya cewek perokok juga banyak.
Kalau tidak suka dengan rokok, ya gak masalah. Itu pilihan bebas, tapi ya gak perlu benci perokoknya apalagi sampai pukul rata semua perokok itu sama menyebalkannya. Menjadi non perokok dan membenci perokok secara umum adalah sikap yang terlalu berlebihan. Cek dulu, mbahnya, bapaknya, atau pamannya perokok bukan?
Begini, lho. Sudah banyak testimoni bahwa rokok sering jadi medium silaturahmi. Rokok bahkan jadi istilah perihal memberi imbalan (kalian tentu familiar dengan istilah “uang rokok” sebagai balas jasa kepada seseorang). Bahkan dulu, sebelum pandemi, kebiasaan join rokok di kalangan perokok juga sangat umum. Keadaan sulit, gak ada uang, tapi mulut asem, biasa diakalin dengan sebatang berdua. Solid! Kurang asyik apa tuh?
Satu lagi yang tidak banyak orang perhatikan, atau mungkin orang-orang enggan untuk mengakui, bahwa saking sering isap dan sedot rokok, bibir para perokok itu sangat lihai dan terlatih. Jadi, siap untuk bermanuver, berakrobat, dan bertarung dengan bibir-bibir lain. Yes, smoker is a good kisser! Gak percaya? Saya buktinya.