THINKWAY.ID – Saat memasuki warung atau toko retail di awal tahun, perasaan ini mulai waswas. Rasa-rasanya sangat takut sekali untuk melihat daftar kolom harga rokok yang ada di etalase. Melihat saja tak berani apalagi menanyakannya pada pemilik atau penjaga warung. Harga rokok kini tak lagi sama dan kekhawatiran-kekhawatiran terus muncul sehingga di dalam benak muncul sebuah pertanyaan, masihkah saya bisa membeli rokok favorit yang kini harganya kian membumbung tinggi?
Beberapa waktu lalu saya melakukan perjalanan dari Surabaya ke Yogyakarta menggunakan moda transportasi darat berupa travel. Sebelum berangkat, sopir travel yang akan mengantarkan saya mengeluarkan hujatannya. Kesal dan mengeluh di antara sesama rekan kerjanya karena harga rokok idamannya kini tak lagi masuk di akal.
Rekan-rekannya hanya diam saja bergeming tanpa melontarkan satu patah kata sekalipun. Sesekali mereka hanya membalas amarah rekannya itu dengan senyum tipis di bibir sambil tetap menghisap rokok dan menyeruput kopi yang ada di meja. Saya kira umpatan sang sopir ternyata hanya berhenti di situ. Saat kami tiba di rest area, Dia kembali mengutarakan keluh kesahnya.
Saya kemudian bertanya: tau dari mana pak harga rokok naik? Jawabnya dia mengetahui tadi pagi saat membelikan beberapa telur untuk keluarganya di rumah dan saat membeli sebungkus rokok favoritnya dia langsung mengetahui harganya sudah setinggi langit. Alhasil, sang sopir yang biasanya membeli rokok sebungkus beralih menjadi membeli secara eceran saja. Asal tetap bisa ngebul katanya.
Pada dasarnya tidak pernah ada konsumen yang menginginkan sebuah harga untuk naik. Lebih baik tetap di harga aslinya sehingga daya beli masih bisa tetap terjaga. Tapi prinsip ekonomi itu tidak seperti itu rupanya, apalagi jika menyangkut terkait rokok. Ada kewajiban cukai yang harus dibayar konsumen dan tiap tahunnya harga cukai tersebut terus merangkak naik.
Pemerintah meletakkan cukai pada rokok dengan alasan demi membatasi penjualan dan konsumsi barang tersebut. Ya memang begitulah guna cukai hadir namun ternyata pada praktiknya cukai hanya menjadi sebuah alibi. Dalihnya membatasi namun keuntungannya tetap dinikmati. Angkanya tentu sangat menggiurkan, Penerimaan cukai sepanjang 2020 mencapai Rp205,68 triliun rupiah dengan proporsi terbesar Cukai Hasil Tembakau sebesar Rp170,24 triliun rupiah.
Kontribusi besar diberikan oleh perokok dari hasil cukai kepada negara. Angka yang besar tapi rasa-rasanya kok miris karena angka tersebut didapatkan dari derita yang terjadi di sektor industri hasil tembakau dan juga di kalangan konsumen. Tentu konsumen jadi kelompok masyarakat yang paling terlihat berdampak akibat kebijakan pemerintah terkait cukai tersebut.
Seperti batu es di lautan, konsumen nampak permukaan es di atas air dan sebaliknya di bawahnya ada jeritang petani tembakau, petani cengkeh, buruh tani, buruh linting, dan banyak pekerja lainnya di IHT yang merasakan dampak dari kenaikan tarif cukai rokok ini. Jadi masihkah ini kita anggap hal yang sepele? Rasanya jangan lagi!
Bagi petani tembakau dan cengkeh, kenaikan tarif cukai rokok akan membuat harga komoditas yang mereka tanam dan panen menjadi tidak baik dan tidak menentu. Selain harga, serapannya tentu juga akan semakin berkurang. Dua kabar yang menyakitkan di tengah kondisi cuaca kemarau basah berkepanjangan yang sudah bikin repot petani tembakau.
Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) mencatat dalam 10 tahun terakhir sebanyak 68.889 buruh linting rokok kretek terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Angka tersebut bukan angka mati yang berhenti situ saja. Namun dengan naiknya tarif cukai rokok maka angka buruh linting kretek yang bakal dirumahkan berpotensi besar bisa bertambah lagi.
Imbas terhadap pabrikan tentu tak kalah ngeri mengingat data dari FSP RTMM-SPSI menyebutkan bahwa dalam kurun 2006 hingga 2016 sedikitnya 3.100 pabrik tutup akibat naiknya tarif cukai rokok. Di saat Indonesia membutuhkan industri padat karya yang menopang perekonomian serta membuka lahan pekerjaan seluas-luasnya justru yang terjadi adalah pemerintah mematikan sektor pertembakauan ini. Tanya kenapa?
Saya yakin, umpatan dan kemarahan terkait rokok naik tak cuman diutarakan oleh sang sopir travel tadi. Di luar sana, ada banyak obrolan-obrolan yang sama yang mewarnai perbincangan-perbincangan masyarakat setiap harinya. Ada curhatan petani tembakau yang gagal menembus kantor pemerintahan. Ada juga tangis buruh linting yang hanya mentok diusap oleh sesama rekannya dan tak disaksikan oleh pemangku kebijakan di negeri ini.
Sampai tahap ini, nampaknya kita benar-benar harus khawatir karena kekacauan yang disebabkan oleh kenaikan tarif cukai rokok ini!