Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Sudarto menilai kenaikan cukai telah membuat kondisi Industri Hasil Tembakau (IHT) semakin tertekan dan tidak menentu. Kondisi ini jelas berdampak kepada kesejahteraan para pekerja yang terlibat dalam sektor industri ini.
Sebab, kenaikan cukai tersebut membuat sektor IHT mengalami penurunan produksi sehingga menyebabkan penurunan penghasilan, kesejahteraan, dan juga daya beli pekerja. Sudarto pun mendesak pemerintah untuk melindungi industri rokok kretek.
“Kami mendesak pemerintah untuk melindungi industri rokok kretek sebagai industri khas Indonesia dan padat karya, yang paling rentan terkena program efisiensi di industri hasil tembakau,” ujar Sudarto dalam keterangan tertulisnya, Kamis 3 Juni 2021.
Adapun gara-gara kenaikan cukai tersebut, penerimaan cukai hingga akhir Desember 2020 mencapai Rp176,3 triliun atau tumbuh 2,3 persen dari tahun sebelumnya. Realisasi ini melebihi target Rp172,2 triliun.
Capaian penerimaan cukai tersebut tidak lepas dari kenaikan tarif cukai rokok yang diberlakukan mulai Januari 2020. Setoran Cukai Hasil Tembakau (CHT) hingga akhir Desember 2020 senilai Rp170,24 triliun atau melebihi target yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp164,94 triliun.
Menurut Sudarto, selama ini pemerintah hanya mengandalkan sektor industri hasil tembakau nasional dan pajak hasil tembakau sebagai penerimaan negara. Sedangkan para pekerja IHT juga membutuhkan keberlangsungan bekerja dan penghidupan layak.
Merujuk data resmi FSP RTMM-SPSI, dalam 10 tahun terakhir tercatat sebanyak 60.889 pekerja yang sudah menjadi tumbal keganasan regulasi yang ketat. Jumlah tersebut lebih besar karena belum ditambah dengan jumlah buruh di luar keanggotaan FSP RTMM-SPSI.
Sementara itu, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati berpendapat bahwa kebijakan cukai di Indonesia eksesif. Hal ini terlihat dari tarif cukai yang selalu melampaui basis penetapannya. Apalagi di 2020 kenaikan cukai dirapel mengingat pada 2019 tidak ada kenaikan.
Enny menyebut bahwa tujuan cukai adalah untuk pengendalian konsumsi dengan indikator penurunan prevalensi perokok. Jika melihat instrumen kenaikan cukai yang eksesif, yang terjadi justru sebaliknya, prevalensi perokok malah semakin meningkat.
“Kalau kita hubungkan prevalensinya terus meningkat, padahal pertumbuhan produksi dan penjualan rokok sudah menurun. Kalau dilihat tujuan target cukai adalah pengendalian konsumsi, tapi yang terjadi justru dengan penerapan cukai yang eksesif yang menurun bukan konsumsinya tapi produksinya,” jelasnya.
Ia menjelaskan, dampak kebijakan cukai yang eksesif akan meningkatkan peredaran rokok ilegal. Merujuk hasil kajian INDEF, Enny mengatakan, sebenarnya antara penurunan produksi dengan penjualan masih jauh drastis produksi, penjualannya menurun tidak terlalu drastis. Artinya, demand itu tidak terlalu terjadi penurunan. Yang mengisi kekosongan adalah rokok ilegal yang tidak membayar cukai.
“Ada korelasi antara harga rokok legal dengan peredaran rokok ilegal. Begitu rokok legal naik pasti peredaran rokok ilegal naik. Ini artinya, target untuk menurunkan prevalensi perokok tidak tercapai,” ucapnya.
Berdasarkan simulasinya, diasumsikan kalau ada peredaran rokok ilegal sebanyak lima persen, maka untuk 2020 potential loss dari penerimaan cukai sudah sebanyak Rp4,38 triliun. Padahal data Bea Cukai menyebutkan bahwa persentase peredaran rokok ilegal di 2018 adalah tujuh persen, 2017 adalah 10,9 persen, dan sebelumnya di 2016 sebesar 12 persen. Sedangkan di 2020 sekitar empat persen.
“Sehingga tadi asumsinya kalau lima persen saja, potensi kebocoran sudah Rp4 triliun, kalau 10 persen seperti hasil penindakan 2017 sudah hampir Rp10 triliun. Akhirnya kalau kita lihat ini pasti mempengaruhi target penerimaan cukai,” urai Enny.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji menegaskan, kebijakan kenaikan cukai berdampak pada penurunan volume rokok. Akibatnya, penyerapan tembakau turun. Turunnya penyerapan tembakau sangat dirasakan petani.
Merujuk data resmi DPN APTI, kenaikan cukai pada 2019 menyebabkan serapan bahan baku (tembakau) lokal sangat merosot tajam sehingga ekonomi petani babak belur. Pada 2020, di masa pandemi, pemerintah justru membuat aturan yang menghantam petani tembakau.
DPN APTI berharap pemerintah memiliki iktikad baik (good will) untuk merumuskan formula kebijakan yang memayungi para pelaku pertembakauan, yakni petani dan pelaku industri nasional.
“Ini adalah perang ekonomi dan perdagangan, korbannya adalah rakyat pertembakauan. Untuk mengakhiri perang ini, kita harus bersatu, orang-orang yang berdaulat dan tahu kemanusiaan ini dituntut untuk memiliki rasa kemanusiaan untuk menolong penjajahan kemanusiaan ini,” jelas Agus.(sumber: Medcom)