Indonesia telah lama dikenal sebagai negara penghasil sumber daya alam, yang salah satunya adalah tembakau. Dari beragam jenis tembakau yang dihasilkan, sebagian besar berasal dari wilayah Jawa Tengah. Lalu, seperti apa cara masyarakat setempat menghargai anugerah yang telah diberikan Tuhan.
Adalah Desa Senden, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, salah satu lokasi penghasil tembakau terbaik di Negeri ini.
Berada di lereng Gunung Merbabu dengan ketinggian sekitar 1300 meter diatas permukaan laut dan memiliki suhu udara sekitar 11 derajat celsius, desa atau dusun ini mampu menghasilkan sekitar empat ton tembakau dalam waktu tak lebih dari lima bulan.
Pada Agustus inilah, hasil panen mereka merimpah luah. Untuk mensyukurinya, masyarakat setempat kerap melakukan ritual. Salah satunya adalah Tungguk Tembakau atau yang kini populer disebut sebagai festival tembakau. Proses adat yang berlangsung selama beberapa hari itu, dimulai sejak Rabu malam, 1 Agustus 2018 hingga Jumat 3 Agustus 2018.
Prosesi adat diawali dengan kirab sesaji berupa gundukan tembakau, aneka sayuran, nasi tumpeng dan lauk yang dibawa menggunakan tandu dan dihantarkan ke sebuah makam yang dikeramatkan, yakni Makam Gunungsari. Ritual adat ini berlangsung cukup meriah karena diikuti ratusan penari dan aneka kesenian lokal dan diakhir acara, sebagian besar hantaran tadi dibagikan untuk umum.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang sempat hadir di akhir penutup festival tersebut mengatakan, prosesi adat itu adalah cara masyarakat setempat menghormati hasil kerjanya selama ini.
“Disini selalu ada doa yang dipanjatkan agar panen hasilnya bagus, harganya juga bagus dan bikin sejahtera, tradisi masyarakatnya disini sangat tinggi dengan hasil yang bagus mereka mampu membangun sendiri potensi-potensi yang ada. Dan, inilah yang akan mndorong desa-desa berdikari. Ini filosofi yang cukup panjang dari petani tembakau,” katanya.
Ganjar mengaku, filosofi dan alasan tersebutlah yang membuatnya selalu berdiri dibarisan terdepan membela kaum petani tembakau. “Mohon maaf bukan bicara isu kesehatannya tapi ini ada sebuah tradisi panjang, cultur, sejarah, ekonomi dan banyak hal yang tekait dengan tembakau,” jelasnya.
Dan terkait hal itu, Ganjar pun kerap kali berbicara dengan menteri perdagangan dan presiden agar bisa melakukan pembatasan terhadap impor tembakau. “Jadi rumusnya sederhana, memang kebutuhan tembakau nasional kurang, tapi kalaulah diperlukan belilah dulu tembakau lokal, sisanya silahkan beli yang lain setelah yang jatah kita habis. Jadi teman-teman petani bisa kompromi tapi jangan samapi semuanya di import dan harga nasionalnya jatuh,” ujarnya.
Ganjar mengakui, rancangan undang-undang tembakau memiliki nuansa potik yang cukup tinggi. Ia hanya bisa berharap, para pengambil keputusan bisa melindungi tembakau tanah air. “Ini kualitas tembakaunya bagus. Daerah-daerah dengan ketinggian seperti ini rata-rata hasilnya baik. Harga selalu mengikuti hukum ekonomi yang berjalan dan saat ini Alhamdulillah, Rp9.000 per kg. mereka (petani) bilang ini hasilnya baik.”
Tak hanya dikenal sebagai sumber penghasil tembakau, desa yang dikeliling Gunung Merapi, Merbabu dan Gunung Lawu ini juga memiliki potensi wisata yang sayang untuk dilewatkan. Ganjar pun berjanji, pihaknya akan terus mendorong hal tersebut minimal dari pemerintah Provinsi.
“Oh iya, ini potensi wisatanya dahsat. Dikeliling Merapi, Merbabu dan Lawu. Tinggal bagaimana ini mngolah menjadi destinasi yang menarik ada perbaikan infrastruktur dan pemerintah akan terus mendorong, minimal dari provinsi. Yang begini-begini keren,” katanya
Sementara itu, Darmo, salah satu warga yang juga petani tembakau mengaku, harga hasil taninya saat ini sudah lebih baik. “Alhamdulillah, sekarang harganya bagus. Nanti disini biasanya yang ngambil dari pabrik-pabrik besar mas,” katanya
Dirinya mengatakan, ritual Tungguk Tembakau ini adalah wujud dari rasa syukur warga desa atas hasil yang melimpah. Dan biasanya warga tidak akan memulai panen jika belum di lakukan ritual tersebut. “Biar kita berkah, kita wajib bersykur,” katanya.***
Sumber: Viva