Catatan Donny Danardono, pengajar filsafat di Program Studi Ilmu Hukum dan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) Unika Soegijapranata Semarang.
Di Indonesia dan di berbagai negara lainnya, sejak tahun 2000-an, tembakau kerap dianggap sebagai tanaman yang menghantarkan penyakit dan kematian pada manusia. Misalnya, Dimas Panji Atmini dan Amni Z. Rahman, mencatat:
Sisi negatif rokok bagi bangsa ini ada pada sektor anggaran negara dan kesehatan masyarakat. Sektor cukai rokok tidak sebanding dengan biaya kesehatan yang harus dibayar negara, belum lagi biaya dan dampak penyakit yang ditanggung.
Rokok tidak baik dikonsumsi, karena rokok mengandung zat-zat yang berbahaya bagi tubuh. Zat-zat tersebut antara lain adalah nikotin, tar, karbonmonoksida, karsinogen, dan iritan.
Maka sejak itu di Indonesia diberlakukan berbagai peraturan pengendali produksi tembakau dan merokok. Berbagai peraturan pada tingkat nasional itu adalah UU No. 28 Tahun 1947 tentang Cukai atas Tembakau, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Peratuaran Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Sementara di kota Semarang ini berlaku Peraturan Walikota Semarang No. 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM) Kota Semarang, dan Perda Kota Semarang No. 3 Tahun 2013 tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Berlakunya berbagai aturan hukum pengendalian produksi tembakau dan merokok tersebut menimbulkan kecurigaan. Thomas Sunaryo menganggap sampel dari kebanyakan riset tentang kesehatan yang terkait dengan tembakau dan rokok terbatas pada rumah sakit—tempat para pasien yang sakit karena merokok—dan bukan pada populasi yang lebih luas:
Studi tentang rokok –termasuk kretek–di Indonesia sampai saat ini dapat dikatakan parsial untuk ukuran besaran dampak masalahnya, karena sering terbatas hanya pada beberapa aspek saja. Bahkan, ukuran sampelnya pun relatif kecil dan lebih bersifat hospital based research karena sampel diambil dari orang sakit yang datang ke rumah sakit. Seharusnya, penelitian bersifat population based research dengan sampel diambil dari populasi dengan sebaran yang mempertimbangkan aspekaspek sosial, ekonomi, psikologi, kependudukan, pendidikan, gizi, iklim, kualitas lingkungan serta faktor-faktor lain yang diperlukan.
Karena itu Thomas Sunaryo menganggap PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan itu bermasalah. Menurutnya PP No. 109 Tahun 2012—yang merupakan peraturan pelaksana bagi Pasal 113 ayat 2 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan—ini telah mereduksi makna zat adiktif yang disebut di dalam Pasal 113 ayat 2 UU Kesehatan itu hanya pada produk tembakau.
Menurutnya, apabila zat adiktif adalah zat—baik yang berasal dari tanaman atau produk sintetis—yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, dan mengurangi atau menghilangkan nyeri, dan karena itu bisa menimbulkan ketergantungan fisik dan psikis, maka tentu zat ini tak hanya ada pada tembakau dan produk tembakau, tapi juga ada pada cafein, kokain, alkohol, dan lainnya.
Bahkan ia menunjukkan berbagai riset yang menunjukkan, bahwa nikotin (yang ada pada tembakau dan rokok) tidak mengandung zat adiktif, karena unsur kimianya selalu larut dalam air dan karena itu selalu dibuang dalam bentuk keringat atau air seni. Maka Thomas Sunaryo mempertanyakan kepentingan politis dan ekonomis apa yang bercokol dibelakang penerbitan PP No. 109 Tahun 2012 itu.
Rupanya pembuatan berbagai aturan hukum yang mengendalikan produk tembakau dan merokok itu dibiayai oleh Bloomberg Initiative, sebuah lembaga yang didirikan oleh Michael Bloomberg yang membiayai berbagai universitas dan perusahaan farmasi untuk “obat penyembuh kebiasaan merokok”. Kesuksesan pemasaran “obat” ini—yang berarti merebut konsumen rokok untuk dijadikan konsumen “obat penyembuh kebiasaan merokok”—hanya mungkin bila ada kampanye anti rokok yang gencar.
Maka, diperkirakan Bloomberg Initiative ada di belakang pembuatan berbagai aturan hukum tersebut. Jon Emont, wartawan The New York Times, melaporkan, bahwa sejak Bloomberg Initiative mendanai program-program anti rokok, maka mulai tahun 2006 lebih dari 107 kota di Indonesia telah membuat Perda yang melarang merokok di ruang publik:
Before the Bloomberg Initiative became active in the country nearly 10 years ago, fewer than 10 cities had laws that restricted smoking in the public areas, according to Campaign for Tobacco-Free Kids, which jointly administers the Bloomberg Initiative’s grant programs in Indonesia. Since then, the group says, more than 170 cities have passed laws heavily restricting smoking in public spaces
Bahkan menurut Jon Emont, Bloomberg Initiative pada tahun 2014 juga membiayai pembuatan peraturan yang mewajibkan perusahaan-perusahaan rokok memasang label peringatan bahaya merokok pada setiap bungkus rokok.
Amen Budiman dan Onghokham—dua almarhum sejarahwan Indonesia—dalam buku Hikayat Kretek (KPG, 2016), bahwa tembakau yang tumbuh di berbagai pulau di Indonesia ini adalah tanaman yang berasal dari Amerika. VOC dan Portugis yang membawa dan membudidayakan tanaman itu di Jawa, Sumatera dan berbagai pulau di bagian Timur Indonesia. Namun mereka mencatat, bahwa sebenarnya di Papua dan Australia juga tumbuh jenis tanaman tembakau tertentu sebagai tanaman asli.
Menurut kedua orang ini tanaman tembakau bisa menyebar ke beberapa negara di Eropa dan berbagai negara di Asia yang merupakan jajahan Belanda, Prancis, Spanyol dan Portugis, karena pada tahun 1942 Christophorus Columbus (orang Genoa, Italia) mendapat dana dari Ratu Spanyol untuk berlayar ke benua Amerika. Di benua itu ia mendapati suku-suku Indian menggunakan tembakau untuk penyembuh rasa lelah, encok dan berbagai penyakit sejenisnya. Mereka menggunakan tembakau itu dengan mencium-ciumnya, menghisap asapnya dengan pipa lewat hidung dan mulut, atau melintingnya dengan daun jagung atau sekedar menggulung lembaran daun tembakau itu dan merokoknya. Suku-suku Indian itu menyebut tembakau sebagai “daun penyembuh”.
Maka saat kembali ke Spanyol, Columbus antara lain memperkenalkan tanaman tembakau itu. Maka sejak saat itu tembakau ditanam di Spanyol, Portugis, Italia, Prancis, Inggris, Jerman dan Turki. Namun, berbeda dari bangsa Indian yang lebih menggunakan tembakau untuk obat, berbagai bangsa Eropa itu merokoknya.
Ketika Columbus berlayar kembali ke Amerika, ia menjadikan sebuah pulau kecil di laut Caribia (bersebelahan dengan Cuba) untuk membudidayakan tembakau. Ia menamai pulau itu Tobago.
Pada tahun 1600an VOC memperkenalkan tembakau di Pulau Jawa dan sekitarnya. Sementara Portugis memperkenalkannya di pulau-pulau Indonesia sebelah Timur, seperti di Flores.
Sebelum berkenalan dengan tembakau, orang Jawa menggunakan daun sirih dan kapur untuk merawat kesehatan gigi dan mulut, dan juga sebagai hidangan untuk menghormati tamu. Begitu mereka mengenal tembakau, mereka menjadikan tembakau sebagai campuran sirih dan kapur untuk merawat gigi dan mulut, dan juga hidangan untuk menghormati tamu.
Namun hadirnya tembakau ini secara pelan-pelan mengurangi kebiasaan orang dalam mengunyah sirih dan kapur. Mereka mulai menyulut tembakau itu dan menghisapnya. Maka pada tahun 1700-an, di Serat Centhini dikisahkan tentang tembakau sebagai eses (saat itu orang Jawa belum mengenal istilah “merokok” yang berasal dari bahasa Belanda rok’ken yang baru mulai digunakan pada abad 19).
Selain itu rokok juga muncul dalam kisah Rara Mendut di abad 17, seorang gadis yang merupakan “harta” pampasan perang raja Sultan Agung dari Kerajaan Mataram setelah mengalahkan Adipati Pati. Sultan Agung menghadiahkan Rara Mendut kepada Tumenggung Wiraguna yang sudah tua. Rara Mendut menolak dan bahkan melecehkan Wiraguna. Wiraguna marah dan mengatakan akan membebaskan Rara Mendut, bila gadis itu bisa membayar sejumlah uang tertentu. Maka Rara Mendut berjualan rokok yang ia linting dengan ludahnya, menghisap dan menjualnya dengan harga tinggi. Begitulah bagaimana tembakau dan rokok telah melatarbelakangi sejumlah karya sastra di Indonesia ini.
Setelah itu mulai tahun 1920 industri rokok berkembang di Kudus. Para pengusaha awalnya adalah orang-orang Jawa. Mereka belum memiliki pabrik rokok. Untuk itu mereka mensubkontrakkan pekerjaan membuat rokok itu pada rumahtangga-rumahtangga di desa. Setelah itu para pengusaha Tionghoa juga mengusahakan rokok dan bahkan mendirikan pabrik-pabrik rokok. Konflik etnis pun pernah terjadi akibat persaingan industri rokok ini.
Begitulah setelah Indonesia merdeka, industri rokok berkembang menjadi industri padat karya (yang berarti menampung banyak tenaga kerja), menghidupi petani tembakau, dan menyumbang devisa terbesar setelah bahan bakar minyak. Bahkan krisis moneter terjadi di Indonesia pada tahun 1996-2000 industri rokok juga tak surut.
Uraian di atas menunjukkan, bahwa tembakau sebenarnya tak hanya dikonsumsi sebagai rokok. Tembakau juga bisa dijadikan obat untuk mengobati kanker, alzheimer, parkinson, dan penyakit lainnya. Namun berbagai peraturan yang membatasi dan melarang penggunaan tembakau untuk rokok karena alasan kesehatan ini berpotensi untuk membuat para petani mengalihkan lahan tembakau menjadi lahan untuk tanaman yang lain. Hal ini berarti mengurangi kemungkinan riset yang lebih serius dan lebih banyak tentang daya obat dari daun tembakau dan bahkan dari rokok.
Kini sejak berlaku berbagai peraturan daerah tentang Kawasan Tanpa Asap rokok itu bukan hanya mengkriminalkan para perkokok yang merokok di sembarang tempat, tapi juga membuat mereka seperti orang yang hendak buang hajat saat harus menuju tempat merokok untuk merokok.
Begitulah bagaimana tembakau dan rokok secara perlahan dilepaskan dari kehidupan manusia. Tembakau dan rokok diidentikkan dengan penyakit, kematian, dan kehidupan yang kurang atau tak bermoral. (*)