THINKWAY.ID – Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) telah mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk segera memisahkan regulasi terkait industri hasil tembakau (IHT) dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan, yang merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang No. 17/2023.
Benny Wachjudi, Ketua Umum Gaprindo, mengemukakan bahwa IHT seharusnya tidak digabungkan dengan aspek kesehatan dan dikelompokkan bersama dengan bahan-bahan adiktif lainnya. Menurutnya, industri ini memiliki karakteristik yang berbeda dan pelaku usaha di dalamnya juga memiliki kepentingan yang berbeda.
“Dengan ini, kami meminta agar peraturan terkait IHT dipisahkan dari keseluruhan pembahasan RPP kesehatan. Ini bukan berarti kami menolak pengaturan, sebab selama ini kami telah tunduk pada RPP 109/2012 yang telah memberlakukan regulasi yang ketat, menyebabkan penurunan produksi yang signifikan,” kata Benny pada Kamis (2/11/2023).
Pemisahan antara aturan tembakau dan RPP Kesehatan menjadi penting karena di dalamnya terdapat ketentuan larangan iklan rokok yang berpotensi melemahkan industri tembakau dalam negeri.
Menurut Benny, larangan tersebut sebagian besar terdapat dalam UU 17/2023 yang pada prinsipnya harus berfungsi sebagai instrumen pengaturan. Namun, yang terjadi justru lebih banyak larangan terhadap tampilan produk rokok serta iklannya.
“Kami merasa bahwa pembatasan ini terlalu berlebihan, mengingat rokok merupakan produk legal yang telah diakui oleh beberapa keputusan dari Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
Benny menjelaskan bahwa para pelaku industri rokok telah mematuhi berbagai peraturan yang ada, tidak hanya dari segi iklan yang tidak diperbolehkan, tetapi juga dari sisi perpajakan. Ini menyebabkan IHT berada dalam tekanan akibat dua regulasi yang kuat.
Di sisi perpajakan, pemerintah juga telah secara resmi meningkatkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10% pada tahun 2023 dan 2024, yang harus dipatuhi oleh para pelaku usaha dalam sektor ini.
Gaprindo memperkirakan bahwa peningkatan tarif cukai tembakau 10% pada tahun 2023 dan 2024 akan berdampak pada penurunan produksi industri hasil tembakau (IHT). Total produksi tahun 2023 diperkirakan sekitar Rp300 miliar, mengalami penurunan sekitar 10% dari Rp330,1 miliar pada tahun 2022.
“Penurunan ini terkait dengan kenaikan cukai, yang otomatis akan meningkatkan harga jual eceran rokok, sementara daya beli konsumen masih rendah,” ungkap Benny.
Menurut Benny, kenaikan harga jual rokok di pasaran telah mendorong konsumen untuk beralih ke produk rokok yang lebih terjangkau. Hal ini menjelaskan pertumbuhan positif dalam produk Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Lebih lanjut, Benny menggambarkan kondisi industri hasil tembakau yang melambat, terlihat dari penurunan pembayaran cukai. Dia mencatat bahwa pada semester I/2023, pembayaran cukai sebesar Rp139,4 miliar, mengalami penurunan sekitar 9% dari Rp153,1 miliar pada semester I/2022.
“Kenaikan cukai 10% ini dianggap terlalu tinggi mengingat kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat yang masih belum pulih,” tambahnya.
Sebelumnya, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo, menyatakan bahwa RPP Kesehatan yang belum diselesaikan dapat memberikan tekanan pada industri tembakau.
“Kondisi ini juga mendorong beberapa produsen untuk menghabiskan persediaan yang ada daripada meningkatkan produksi, sehingga para pelaku usaha ini menunggu perkembangan RPP ini dengan cermat,” jelasnya.